Ketidakadilan dan ketimpangan sosial-ekonomi membawa kosekwensi ada ketidakpuasan dalam komunitas tertentu. Apa yang sedang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya mencerminkan ketidakpuasan tersebut.
Kesatuan bangsa menjadi tak ternilai jika dibandingkan dengan tindakan semena-mena terhadap kelompok tertentu dalam berbagai aspek.
Aceh hanyalah secuil fakta akibat proses marjinalisasi yang begitu panjang sejak Indonesia menyatakan diri merdeka. Sekalipun kekerasan-kekerasan sebagai wujud ketidakpuasan dari pihak manapun harus ditentang dengan tegas.
Berbagai versi dan definisi diberikan pada kalangan tertindas ini mulai dari protes hingga gerakan separatis.
Dalam konteks inilah, barangkali, kita masih sedikit menyinggung Integrasi Nasional demi kepentingan ekonomi kelompok terbatas yang mempunyai kekuasaan.
Orde Baru, contohnya, telah memposisikan diri sebagai sentral atas pengelolaan sumber daya dari kawasan-kawasan seperti Aceh dan Papua.
Militer pun dikerahkan hanya untuk mengamankan eksploitasi atas sumber daya alam. Tidak saja elite-elite Jakarta yang berkepentingan dengan Aceh, tetapi juga perusahaan multinasional hadir untuk meraup keuntungan bersama.
Minyak dan gas alam, perkebunan kelapa sawit serta potensi komoditi pertanian lainnya menjanjikan keuntungan berlipat ganda.
Hak masyarakat lokal sangat terabaikan untuk ikut merasakan kekayaan sumber daya mereka. Menyusul konflik yang berkepanjangan maka kemelaratan dan morat-maritnya kehidupan korban di Aceh selama ini tidak tertangani.
Inilah yang terus mendapat kecaman dan kritikan keras dari pakar ekonomi serta aktivis kemanusiaan di Aceh. Selama Orba tertindas, ternyata kesengsaraan pun terus melanda sejak reformasi digulirkan di Indonesia. Jumlah orang miskin dan yang hidup morat-marit di Aceh selama konflik mencapai 1,5 juta jiwa
Gubernur Abdullah Puteh pernah mengatakan bahwa persoalan normalisasi kehidupan dan perbaikan ekonomi rakyat di Aceh bukanlah persoalan kecil. Perlu perencanaan yang matang agar sasarannya tepat dan bantuannya segera bisa dirasakan rakyat.
Pemerintah Provinsi NAD merencanakan tahun ini bisa menyiapkan lahan pertanian baru untuk areal sawah permukiman. Perkebunan rakyat akan dibagi-bagi untuk korban konflik yang telah kehilangan rumah dan lahan pertanian.
Di Aceh Timur saja, selain perkebunan, perikanan juga menjadi andalan perekonomian masyarakat. Didukung letak geografis yang membujur sepanjang pantai Timur Provinsi NAD dan berbatasan dengan Selat Malaka, Aceh Timur strategis sebagai daerah penangkapan ikan laut. Rawa, air genangan, tambak, dan sungai juga menjadi pendukung perikanan darat.
Perikanan laut yang dulu didukung Pelabuhan Kuala Langsa hingga tahun 2001 hasilnya 12.389 ton, lebih besar dari perikanan darat (4.239 ton).
Sekarang perikanan laut mundur akibat berhentinya aktivitas Pelabuhan Langsa karena masalah keamanan. Padahal hasil komoditi perikanan seperti udang windu dan bandeng segar mempunyai pasar yang luas di Medan.
Industri yang memanfaatkan hasil hutan juga cukup berpotensi seperti saw mill, moulding, plywood, crumb rubber, mebel rotan, mebel kayu, dan arang kayu banyak berkembang. Selain itu masih ada industri yang memanfaatkan hasil tanaman pangan, seperti tempe, tahu, dan pisang sale.
Kini, ribuan tenaga kerja menganggur dan hasil hutan tidak terolah dengan baik. Padahal, plywood merupakan komoditas ekspor yang nilainya cukup tinggi. Tahun 2001, perolehan devisa sempat mencapai 2,8 juta dollar AS.
Sejumlah industri-industri pengolahan masih beroperasi seperti pabrik pupuk Urea PT Pupuk Iskandar Muda terletak di wilayah Zona Industri Lhokseumawe (ZILS) di sebelah selatan Banda Aceh.
Demikian juga dengan pabrik PT. Aceh Asean Fertilizer dan pengilangan gas alam PT. Arun. Tanggung jawab dan kesadaran untuk megembalikan Aceh di masa kejayaannya sebenarnya tidak terlambat.
Langkah-langkah pemerintah, walaupun masih parsial, sedikitnya membuktikan ada komitmen kuat untuk membantu masyarakat Aceh.
Tidak hanya itu, negara-negara donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) dalam pertemuan tanggal 21-22 Januari lalu, di Bali, siap membantu upaya pembangunan ekonomi di Aceh tersebut.
Melalui CGI, juga dibentuk tim dari negara-negara donor untuk mendukung proses perdamaian. Tim itu terdiri dari tim yang menangani bantuan kemanusiaan, pembangunan masyarakat madani,pembentukan pengelolaan pemerintahan yang bersih, dan membantu rekonstruksi ekonomi dan sosial.
Keterlibatan pihak internasional ini tidak bisa dipungkiri dari posisi strategis Aceh di masa yang akan datang. PT ExxonMobil Indonesia (PT EMI) sangat kwatir mengalami kekurangan gas untuk memasok kebutuhan lokal.
Setidaknya sampai 2003, kontrak-kontrak pasokan gas antara Pertamina bekerja sama dengan PT EMI, Jepang, dan Korea sudah banyak.
Jika keamanan ini tidak teratasi maka kerugian milyaran dolar AS harus dipikul hanya karena keamanan yang tidak kondusif.Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan manusia adalah hal yang sangat wajar.
Tetapi itu tidak berarti harus menghalalkan berbagai cara dan mengorbankan masyarakat lain yang seharusnya juga berhak atas akses sumber daya itu.
Masyarakat Aceh tidak bisa dikorbankan begitu saja. Perjuangan untuk mendapatkan hak mempunyai jalur-jalur tersendiri sehingga harus ditolak kekerasan yang merugikan masyarakat sipil.
Entah itu Gerakan Aceh Merdeka, TNI, LSM, birokrat dan berbagai pihak terkait harus mempunyai komitmen dasar yang benar-benar sama untuk mengantisipasi keadaan
yang lebih para di Aceh.
© Copyright 2024, All Rights Reserved