Polemik kasus korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam non-aktif, Abdullah Puteh hampir mencapai titik akhir. Ini karena Pengadilan Tipikor sudah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara untuk Puteh. Namun tim pembela Puteh mengajukan banding.
Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam non-aktif oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu Tipikor memvonis selama 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, Puteh juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp3,687 miliar dengan waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Vonis tersebut dibacakan tanpa dihadiri terdakwa maupun penasihat hukum Puteh.
Vonis tersebut lebih lama dua tahun dari tuntutan jaksa dalam persidangan sebelumnya. Jaksa menuntut Puteh delapan tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. Namun vonis uang pengganti lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut uang pengganti sebesar Rp 10,087 miliar.
Jaksa penuntut umum, yang beranggotakan Khaidir Ramly, Yessi Esmiralda, dan Wisnu Baroto, mendakwa Puteh melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, huruf b, Ayat (2), Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) jo Pasal 54 Ayat (1) KUHP tentang melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri.
Putusan Puteh dibacakan secara bergantian oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (11/4). Majelis hakim dipimpin oleh Kresna Menon serta beranggotakan Gusrizal, Achmad Linoh, Dudu Duswara, dan I Made Hendra Kusuma. Kendati menyatakan Puteh bersalah, putusan itu diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari Kresna Menon dan Gusrizal. Ini berarti tiga berbanding dua.
Dissenting opinion Kresna Menon dan Gusrizal terkait dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara ini. Hal itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review yang diajukan oleh Bram HD Manoppo, Presiden Direktur PT PPM, atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Judicial review tersebut berisikan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berlaku retroaktif.
Majelis hakim lainnya berpedoman pada Pasal 18 Ayat (2) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Puteh terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian helikopter MI-2 merek PLC buatan Rostov, Rusia. Atas perbuatannya itu, terdakwa terbukti merugikan keuangan negara Rp 3,687 miliar. Kerugian negara dihitung dari uang yang dikeluarkan dari kas Pemerintah Provinsi NAD untuk pembelian helikopter sebesar Rp 13,687 miliar, dikurangi uang yang dikembalikan ke kas Pemerintah Provinsi NAD Rp 3,6 miliar dan uang yang dibayarkan untuk pembelian helikopter kepada PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) Rp 6,4 miliar.
Menanggapi putusan hakim, jaksa Khaidir Ramly mengatakan pikir-pikir. Khaidir menambahkan sesuai dengan kewajiban jaksa, maka pihaknya segera menyampaikan putusan majelis hakim beserta berita acara kepada Puteh. "Setelah putusan, kami punya hak menyatakan pikir-pikir, diterima, atau banding. Kami punya pimpinan, akan didiskusikan dulu," kata Khaidir.
Berbeda dengan Khaidir, Mohammad Assegaf, selaku salah seorang penasihat hukum Puteh langsung menyatakan banding atas putusan tersebut. Alasannya, hakim telah mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review UU No 30/2002. Selain itu, Assegaf menilai majelis hakim juga mengesampingkan pertanggungjawaban gubernur yang disampaikan kepada DPRD NAD mengenai pembelian helikopter. "Hal yang penting diperhatikan adalah keputusan hakim tidak bulat karena ada dissenting opinion," jelas Assegaf.
© Copyright 2024, All Rights Reserved