Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperbaiki dalam penerapan alat pengukur penggunaan listrik prabayar oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Yakni mencakup kebebasan pilihan pengguna dalam menentukan alat ukur penggunaan listriknya, peneraan alat ukur tersebut, dan kejelasan jumlah biaya administrasi yang harus dibayarkan,” kata Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir di Kantor YLKI, Kalibata, Jakarta, Rabu (09/09).
Menurut Huzna, terkait masalah pilihan terdapat praktik pemaksaan dari petugas PLN untuk memasang alat ukur penggunaan prabayar, ketika pengguna listrik ingin menambah daya atau membuat sambungan baru.
"Ketika konsumen ingin menambah daya atau membuat sambungan baru, petugas sering memaksakan dengan dalih tidak tersedianya alat ukur konvensional. Padahal sudah ada Peraturan Menteri ESDM yang mengatur pengguna boleh memilih alat ukur listriknya," kata Huzna.
Peraturan yang dimaksud yakni Pasal 8 ayat 2 pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 33 tahun 2014 tentang tingkat pelayanan dan biaya yang terkait dengan penyaluran tenaga listrik oleh PT PLN Persero.
Huzna mengatakan, terkait peneraan alat ukur listrik, seharusnya ada pemeriksaan berkala untuk memeriksa akurasi pengukuran dan adanya standarisasi pada alat ukur.
"Menurut riset Badan Penelitian dan Konsultasi Industri (BPKI), masih ada alat ukur listrik prabayar yang sering macet dan token listrik yang dimasuk ketika dibayarkan," ungkap Huzna.
Selain itu Huzana menyoroti soal ejelasan biaya administrasi. Sebab ada perbedaan biaya administrasi yang dibebankan pada pengguna listrik di setiap bank penyedia pulsa listrik prabayar. Huzna berpendapat seharusnya biaya administrasi tersebut ditanggung oleh PLN.
"Untuk permasalahan biaya admistrasi kami sudah persoalkan pada PLN, tapi mereka berdalih telah keluarkan biaya lain dan tidak bisa mengatur jumlah biaya yang dibebankan oleh bank," kata Huzna.
© Copyright 2024, All Rights Reserved