Malu, sedih, prihatin, mungkin itu yang dirasakan oleh sebagian anak bangsa ini ketika ledakan bom meluluhlantahkan kawasan Legian, Bali, 12 Oktober 2002 lalu. Sebagian lagi, bisa jadi malah merasa bangga karena berhasil membuat malu Bangsa Indonesia di mata dunia internasional.
Terlepas dari itu semua, yang pasti, ‘suksesnya’ tindakan pengeboman di Bali, merupakan sebuah bukti bahwa kinerja pemerintahan dan aparat keamanan, khususnya di dunia intelijen Indonesia sangat rentan, bila tidak ingin dikatakan lemah. Baik dalam hal koordinasi ataupun antisipasi.
Bila pemerintah dan anak bangsa ini ingin merenung, sebenarnya gambaran bahwa Indonesia menjadi salah satu diantara negara-negara di dunia yang menjadi basis aksi jaringan terorisme internasional sudah sampai di telinga rakyat. Hanya saja, sebagian dari pemimpin di negeri ini sibuk menyanggah itu semua. Bahkan mengerahkan dukungan untuk menolak fenomena terorisme itu. Padahal, sepantasnya dilakukan pendalaman terhadap semua infromasi yang didapat. Bukan saling bantah. Sepantasnya seluruh energi yang ada digunakan untuk membuktikan fenomena terorisme yang ada.
Cilakanya lagi, setelah terjadi ledakan bom di kawasan wisata Legian, Bali, aparat pemerintah, aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan elemen masyarakat, diantara kegagapan mereka, masih saja saling tuding: Intelijen tidak mampu bekerja. Aparat keamanan tidak mampu bekerja. Tidak ada terorisme di Indonesia dan seterusnya. Bahkan ada elemen masyarakat yang menggunakan elemen agama untuk mematahkan soal terorisme. Terorisme itu bukan soal agama dan tidak berhubungan dengan agama. Terorisme itu soal kejahatan yang terorganisir dan bersifat internasional. Jadi tak perlu dipolitisasi.
Nah, terlepas dari itu semua, sudah sepantasnya segenap elemen masyarakat dan elemen pemerintahan di Indonesia untuk melakukan tindakan nyata guna memberangus jaringan terorisme di negeri ini. Bila tidak mampu dan tidak memiliki kekuatan untuk itu, tak perlu saling tuding. Toh masih banyak negara di dunia ini yang bersedia membantu Indonesia untuk mengungkapkan gerakan terorisme tersebut. Tidak perlu menyeret-nyeret Amerika.
Mengapa kita menjadi malu untuk mengakui ketidakmampuan kita? Mengapa kita menjadi sombong dan merasa mampu? Faktanya, setidaknya 182 nyawa sudah melayang. Faktanya, kita tidak mampu mengungkapkan dalang dan pelakunya. Kita masih meraba-raba.
Bila kita melihat dari sisi jenis bom yang digunakan di Bali, jujur saja ini merupakan buah karya jaringan terorisme internasional. Kenapa? Simak saja kualitas bom yang digunakan pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) sangat rendah bila dibandingkan dengan yang dipergunakan di Bali. Di BEJ walau dipasang di lantai bawah, gedung BEJ tidak rontok. Sementara di Bali, katanya hanya diletakkan didalam mobil yang diparkir di pinggir jalan, implikasinya begitu luas. Lantas, dari aspek sasaran, memang yang terjadi di BEJ hampir sebanding dengan Bali---sama-sama strategis dan berdampak internasional.
Dari kedua aspek itu saja, jelas bahwa tragedi di Bali tidak mampu dilakukan anak bangsa di dalam negeri ini, kecuali mereka yang terajut dalam jaringan terorisme profesional (internasional). Masih mangkirkah kita untuk mengakui ini semua?
Kejadian di Bali ini memang banyak memunculkan spekulasi. Perdana menteri Australia John Howard dan Menlu Alexander Downer, meskipun belum ada bukti yang pasti, keduanya menyatakan yakin bahwa ini merupakan rangkaian terorisme. Bisa jadi, sebab dalam satu malam, tiga bom meledak di dua daerah: Menado dan Bali.
Nah, terlepas dari tudingan itu salah atau benar, yang jelas tragedi di Bali menimbulkan opini internasional terhadap Indonesia semakin buruk. Pertanyaannya kemudian, siapa yang berkepentingan untuk menciptakan itu semua? Adakah dari anak bangsa ini yang terlibat didalam kepentingan itu? Walaupun masyarakat tahu, saat ini di dalam negeri terjadi saling sikut diantara sesama elit pemerintahan dan elit partai. Tapi, tentu konflik tersebut tidak sampai memanfaatkan jaringan terorisme internasional guna memenangkan pertikaian untuk merebut kekuasaan di negeri ini.
Untuk itu, guna membuktikan semua itu (karena kita kurang mampu) dan mendapatkan hasil benar (bukan rekayasa), sudah sepantasnya pemerintah Indonesia meminta bantuan nerara-negara yang memang ahli menangani aksi-aksi terorisme untuk membantu aparat Kepolisian dan TNI. Jangan sampai hanya karena sikap arogansi dan gengsi, legitimasi tuduhan dunia internasional---Indonesia sebagai salah satu sarang teroris, menjadi kian legitimate.
Bayangkan saja. Untuk urusan mencari akuntan publik guna menilai aset konglomerat yang di BPPN saja, bangsa ini memakai akuntan internasional. {Koq} yang menyangkut hal strategis bagi kelangsungan rakyat yang begitu banyak pemerintah jadi enggan? Ini soal kelangsungan bangsa, bukan soal komisi dan uang.
Jadi, tak ada pilihan lain, penanganan peristiwa Bali ini membutuhkan tingkat keseriusan yang tinggi dari pemerintah Indonesia. Bukan hanya keseriusan dari aparat Kepolisian dan TNI. Rakyat sangat tidak memerlukan pernyataan saling tuding diantara sesama aparat pemerintahan. Rakyat juga tidak butuh pernyataan dari para politisi. Rakyat hanya memerlukan keamanan mereka terjaga dan negara harus mampu melakukannya. Sebab rakyat sudah cukup banyak mengorbankan harta benda, bahkan nyawa untuk menegakkan setiap pemerintahan yang ada.
© Copyright 2024, All Rights Reserved