Senin minggu ini tanggal 17 Maret 2003 merupakan suatu hari yang kiranya tidak berlebihan harus dicatat sebagai salah satu hari bersejarah negara bangsa ini; dimana seorang Tomy Winata yang selama ini dimitoskan sebagai {one of the untouchables from the dark side} di bumi kita dapat menjadi kenyataan dengan kehadirannya di DPR Senayan.
Lebih dari satu stasiun TV dan Radio yang meliput rapat konsultasi itu secara langsung, yakin dan pasti show ini akan meraih rating yang lumayan tinggi sekalipun jam tayangnya dari pagi sampai pertengahan siang di luar kebiasaan {prime time}.
{Breaking News} yang cukup lama ini berhasil mendorong sebagian kita-kita untuk sedikit lebih meluangkan waktu untuk menontonnya atau mendengarkan dari radio.
Ini terbukti dengan beberapa staf kantor kami yang agak cukup lama menghilang dari mejanya. Pada waktu yang bersamaan, saya menelepon beberapa teman di kantor lain yang ternyata juga sempat kehilangan stafnya selama show tersebut berlangsung. Teman-teman saya tersebut berada di Medan, Padang, Bandung, Yogjakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan dan Makassar. Jadi, boleh dibilang ini cukup mewakili sebuah Indonesia.
Saya jadi teringat pada waktu Ibu Tien dan Lady Di berpulang ke Rahmatullah, dimana keseluruhan prosesi pemakamannya diliput oleh berbagai stasiun TV, bedanya mungkin yang Ibu Tien hanya lokal Indonesia saja. Bagi media elektronik yang meliputnya secara langsung, ini merupakan rejeki yang nomploknya bukan main.
Saya terpikir kenapa seluruh stasiun TV kita tidak membuat TV Pool barengan untuk siaran langsungnya, pasti semua orang nonton dan karena barengan, ongkosnya jadi murah.
Seandainya saya ini seorang direktur pemasaran suatu produk konsumen bersiklus cepat{(Fast Moving Consumer Goods)} seperti mi, permen, minuman, sabun, odol atau yang lain, dan acara ini sudah saya ketahui dari minggu sebelumnya, so pasti selama show tersebut slot iklannya akan saya borong habis.
Memang benar, kita tidak dapat memungkiri bahwa mungkin mayoritas pemirsa maupun pendengar radio secara serempak mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Tomy Winata, tapi perlu kita cermati pula bahwa mungkin juga ada pemirsa atau pendengar yang akhirnya jadi bersimpati atau paling tidak mereka menjadi netral dalam kasus Tomy Winata-Tempo itu.
Sebenarnya, hasil dari show tersebut lebih membukakan sebuah kekhawatiran baru mengenai tingkat kecerdasan para anggota Komisi 1 DPR, tingkat kedewasaan yang masih rendah dari manajemen Tempo dan pengacaranya dan tidak adanya wakil dari Kepolisian satupun. Oom Da’I kemana yaa? Engga berani yaa tampil barengan?. Justeru show ini lebih meroketkan popularitas Tomy Winata.
Tulisan saya ini sebenarnya hanya akan mengulas 2 hal saja yaitu, satu, begitu besarnya {magnitude}(daya pancar magnet)nya isu ini dan kedua, ini dia, suka atau tidak suka. harus diakui nyalinya si Tomy Winata ini.
Berani tampil beda, sekalipun dalam suatu forum yang nyatanya menjadi bersifat nasional dimana seluruh sifat pembicaraannya lebih mengarah pada interogasi.
Nah, jika keberaniannya Tomy Winata ini dibandingkan dengan beberapa konglomerat yang lain yang nyata-nyatanya sudah terbukti sebagai pencuri uang negara seperti Syamsul Nursalim, Prayogo Pangestu, Anthony Salim, Hendra Rahardja(Alm), Edi Tansil atau anak-anaknya cendana yang lain.
Jelas sekali, bahwa bagaimanapun Tomy Winata itu lebih mau bersedia duduk dan berdialog bersama. Terus terang saja, saya sampai merekamnya dalam video dari mulai awal sampai akhir shownya, sebelum tulisan ini dimulai saya mungkin sudah lebih mengulang-ulangnya lebih dari 3 kali.
Sekedar untuk menyegarkan persepsi, saya memutar kembali beberapa film kehidupan simbiose mutualisma antara dunia mafia dan penyelenggara negara/penegak hukum/pengamanan negara, seperti Godfather 1 sampai 3–Marlon Brando-Al Pacino, City Hall-Al Pacino, Hoffa-Jack Nicholson dan The Untouchable-Robert De Niro-Kevin Costner.
Intisari dari profil mereka sebenarnya sangat sederhana, berani, nekat, merangkul komunitas terkucil dan lebih banyak menggunakan aksi terlebih dahulu daripada strategi. Ini adalah fakta yang sampai kapanpun dunia ini eksis, jenis dan profil seperti ini akan selalu ada.
Bila memang Kejaksaan atau Aparat Kepolisian itu cukup jeli, {show} itu sebenarnya dapat disiarkan langsung secara regional melewati CNBC atau CNN sekalipun dan digunakan sebagai metode psikologi pengiriman pesan kepada para konglomerat-pencuri yang bersembunyi dan berleha-leha di Singapore, Australia, Hong Kong atau negara lainnya.
Pesannya, tirulah si Tomy Winata itu, berani datang ke Senayan dan ngobrol rame-rame dan disiarkan langsung lewat TV dan Radio lagi.
Bila kita perhatikan benar-benar rekaman show itu, ada satu kejadian dimana Tomy Winata berdiri dari kursinya, menyusuri kursi-kursi ruang sidang dan keluar ruangan, mungkin menuju kamar kecil.
Karena begitu tumpah ruahnya yang menyaksikan rapat terbuka ini, membuat Tomy Winata harus sedikit berdesak-desakan baik pada waktu keluar maupun kembali memasuki ruangan.
Buat seorang Tomy Winata, yang kehidupannya dipenuhi oleh persaingan bisnis keras hidup dan mati, yang mungkin kepalanya dia juga sudah dikontrakkan pada beberapa hit-man(pembunuh bayaran) dan ancaman-ancaman yang lain, seharusnya keputusannya dia untuk buang air kecil tersebut dapat ditunda karena mungkin dia akan buang air kecil yang terakhir kalinya.
Sekalipun mungkin Tomy Winata benar-benar kebelet, seharusnya pada waktu dia berdiri dan berjalan, para bodyguardnya juga harus mengikutinya, kemanapun dia pergi.
Dalam sebuah buku berjudul Assasination-Lee Davis, tentang 20 pembunuhan yang merubah sejarah dunia antara lain John & Robert Kennedy, Martin Luther King, Malcolm X dan Anwar Sadat, hampir pembunuhan-pembunuhan tersebut dilakukan di muka dan disaksikan umum.
Mencengangkan sekali, dalam rekaman show tersebut tidak tampak seorangpun yang mendampingi Tomy Winata buang air kecil, boleh dibilang dia itu memang super berani dan nekat, istilah kerennya anak-anak, nekatz.
Satu hal yang lain lagi sekedar untuk dipelajari, bahwa PD(Percaya Diri)nya Tomy Winata itu benar-benar teruji dan cukup tangguh, karena pada waktu show tersebut, dia duduk berdampingan dan berada di ruang sidang yang boleh dikatakan hampir 100% yang duduk bersikap oposan terhadap dirinya dan juga kualifikasi edukasinya jauh
diatas.
Sekalipun TNI AD benar berada di belakang dia, eksistensi dan kehadiran dia yang sendiri dan hanya didampingi pengacaranya, si Desmon botak itu, dan berada di satu kumpulan komunitas yang arahnya lebih menyerang dia, ini menakjubkan dan rasanya tidak berlebihan untuk sedikit angkat topi.
Kedekatan Tommy Winata dengan TNI AD itu sebenarnya sudah bukan rahasia umum lagi, malah mungkin sudah menjadi isi baku salah satu kamus umum berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bagi TNI AD dan Kepolisian, Tomy Winata itu mungkin hanya sebagian kecil saja pengusaha keturunan yang dieksploitir sebagai CRM{(Cash Register Machine)} alias mesin uang. Masih banyak lagi yang nasibnya seperti Tomy Winata.
Kenekatan dan keberanian Tomy Winata hari Senin pagi itu, sudah cukup membuat debaran jantung cukup keras di Cilangkap dan Trunojoyo. Kekhawatiran dan kecemasan yang begitu tingginya menghantui beberapa petinggi militer dan polisi baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Dalam doktrin militer, penyelamatan institusi jauh lebih berharga daripada sekedar pengamanan bisnis dan pribadi Tomy Winata. Putarlah kembali beberapa film bagus seperti A Few Good Men-Jack Nicholson-Tom Cruise-Demi Moore dan The General’s Daughter-John Travolta, dimana dalam film ini menceritakan betapa kuatnya institusi militer yang harus dipertahankan walaupun eksesnya harus menghilangkan nyawa seorang personil militer yang frustrasi, bahkan dalam The General’s Daughter, seorang jenderal akhirnya harus tega memutuskan hidup seorang personil militer, sekalipun itu putrinya sendiri.
Jadi kehadirannya Tomy Winata itu sudah cukup membuat gemetaran sebuah komunitas, khususnya militer dan polisi. Seandainya Tomy Winata itu salah-salah kata atau mendisposisikan satu hal pada petinggi militer dan polisi tertentu, bukan mustahil Tomy Winata itu bisa langsung lenyap.
Apalah artinya seorang Tomy Winata dibandingkan dengan puluhan jenderal dan ratusan ribu prajurit. Dalam kamus intelijen, Tomy Winata itu hanya sebuah a disposable gold asset(harta emas yang dapat dibuang dimana dan kapan saja).
TNI AD bagaimanapun juga adalah satu pilar strategis penyangga negara besar kita ini dan bila merujuk lebih dalam, kebersamaan dengan rakyatnya itu sebenarnya yang merupakan kunci kekuatannya. Secara finansial pemerintah belum mampu untuk meredam laju dan kiprah TNI AD, karena memang bujet untuk TNI AD selalu terbatas dan seringnya minus.
Akibatnya, ini disikapi dengan tradisi berkaryanya para jenderal dan perwira tinggi dengan para pengusaha seperti Tomy Winata untuk sekedar survive dan ada beberapa contoh lain yang terpaksa menghidupi kompinya atau batalyonnya dengan menjadi centeng/penjaga keamanan suatu usaha. Ini adalah sangat klasik dan semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistim kehidupan kita.
Negara kita ini selalu surplus prajurit sementara negara-negara tetangga kita, seperti Singapore, Australia, Malaysia, Thailand selalu kekurangan prajurit yang akhirnya mereka terpaksa memancingnya dengan meninggikan gaji, menawarkan pendidikan ekstra lainnya dan menanggung seluruh pendidikan anak-anak si prajurit. Apa kita memang sudah mampu? Belum kan.
Apakah banyak perusahaan-perusahaan swasta yang bersedia berpartisipasi dan berkontribusi pada militer dan Polisi?
Dengan terbukanya investasi dan kepemilikan asing di negara kita, menjadikan semakin banyaknya perusahaan yang menerapkan {good corporate governance}, yang salah satu implikasinya adalah menghilangkan atau mempersempit peluang untuk berhubungan dengan institusi lain yang tidak terkait hubungannya dengan bisnisnya, mereka mulai mengeluarkan kebijaksanaan yang mengharamkan penyuapan atau biaya lain tanpa kwitansi resmi atau paling tidak mereka hanya membantu institusi-institusi lokal yang hanya dipandang sebagai {stakeholder}nya saja.
Misalnya sebuah perusahaan pembuat bubur kertas berani mengeluarkan puluhan milyar rupiah untuk sebuah LSM lingkungan hidup yang sangat vokal terhadap dampak operasinya atau sebuah badan internasional dunia yang mengguyur ratusan milyar untuk program kesehatan dan penegakan HAM dan demokrasi.
Apakah militer dan prajurit kebagian? Tidak. Prajurit dan Guru Indonesia adalah 2 profesi yang paling tidak menguntungkan di bumi kita ini, lihatlah prajurit kita yang gajinya dibawah standar dan Guru yang setiap bulan selalu mendapatkan gajinya disunat rata-rata 30% dari slip gaji yang tertera.
Kasus Tomy Winata-Tempo harus menjadi pelajaran kita semua bahwa ternyata kehidupan kita semua ini lebih banyak semunya dan bagaimanapun juga, Tomy Winata itu adalah sebuah kenyataan yang benar-benar nyata dan hidup.
Pelajaran mahal ini harus segera disikapi dengan tegas dan jelas oleh Pemerintah, dan yang lebih penting penghargaannya itu yang harus disempurnakan.
Apakah kita tidak akan menangis melihat prajurit kita pada malam hari masih bekerja menjadi penjaga sebuah pabrik atau guru sekolah anak-anak kita menjadi pengojek di perumahan tempat murid-muridnya tinggal?.
Bila nantinya seorang Tomy Winata itu harus terpaksa menjadi tumbal menuju kesempurnaan kehidupan seorang prajurit, saya tidak meragukan bahwa mungkin ada sebagian besar masyarakat kita yang menginginkan peristirahatan terakhirnya di sebuah pojok di Kalibata dan mengenangnya dengan membuat patung dirinya dan menancapkannya di pinggir jalan tol jagorawi dekat arah Cilangkap.
Bahwa akhirnya seorang Tomy Winata harus melalui jalan yang pahit ini, banggalah dia seharusnya karena Tomy Winata dapat disejajarkan dengan seorang Kolonel Angkatan Darat Amerika Oliver North dalam kasus Iran Gate, Kolonel Oliver(Ollie) terpaksa dikambinghitamkan dan ditumbalkan untuk melindungi seantero isi sebuah gedung ajaib di Washington DC, si Gedung Putih dan sebuah gedung lain di Pennsylvania, namanya Pentagon.
Satu dari lima orang amerika, menganugrahi Ollie sebagai Hero(Pahlawan) dan sampai saat ini, setiap hari Ollie masih menerima ribuan surat, email, sms dan lain-lainnya dari para penggemarnya.
Perhatian dan animo kita yang sangat besar sebagai masyarakat pada kasus Tomy Winata-Tempo ini dapat dilihat dan diukur dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Ada apa dengan masyarakat kita ini? Kenapa begitu concernnya kita sampai sedikit mengorbankan waktu kerja di hari Senin pagi untuk menonton dan mendengar show tersebut?
Ini sebenarnya merupakan titik kulminasi kekesalan, kemarahan dan kebencian kita pada Pemerintah yang selalu tidak berhasil atau ada saja alasan dalam menyeret para konglomerat pencuri uang negara.
Misalnya, pada seorang Akbar Tandjung yang sudah nyata-nyata salah, ceroboh dan divonis terpidana 4 tahun penjara atas kasus bulog, malah masih bisa lenggang-kangkung seolah tanpa dosa sampai sekarang.
Pansus-pansus yang direncanakan untuk kasusnya belum pernah terwujud. Terbayangkah oleh kita bila Akbar Tandjung diperlakukan mirip dengan Tomy Winata dan dihujani pertanyaan sinis dari teman-teman DPR nya dan juga diadakan di ruang sidang yang sama.
Acaranya juga disiarkan langsung melewati TV dan Radio. Rasanya mimpi bukan?
Di kita ini masih banyak ratusan yang lebih layak berpredikat The Untouchables, karena kategori sebenarnya dari The Untouchables adalah tidak terjangkau dan tersentuh hukum maupun publik, dan Tomy Winata itu tidak termasuk karena buktinya dia mau turun, ngomong di Senayan dan waktu dia ingin buang air kecil, terpaksa sedikit berdesakan dengan penonton umum.
Tengoklah Anthony Salim dan konglomerat lain pengemplang uang negara yang beraninya cuma ketemu Kepala BPPN, itupun pertemuan tertutup dan di Bali lagi. Lihatlah juga, ketidakhadiran manajemen Indofood berkali-kali di Pengadilan atas kasus kecil pelanggaran kontrak model iklan dari salah satu produknya. Lihat jugalah, seorang Soeharto atau anak-anaknya yang sampai saat ini belum berani tampil di publik.
Predikat apa yang pantas diberikan pada mereka itu kalau bukan menjadi seorang pengecut nomor satu.
Tunggulah, nanti kita lihat berapa perolehan rating TV dan Radio antara Shownya Tomy Winata-Tempo dibandingkan Berita Pidato Kepresidenan. Atau mungkin tidak perlu, karena, apakah Pidato Kepresidenan itu pernah ada?
Bila mungkin tulisan ini dibaca oleh Tomy Winata, ijinkanlah saya untuk menggunakan inisial anda, TW, yang makin populer untuk merek minuman berenergi yang akan saya luncurkan, khasiat produk saya ini akan membuat konsumen lebih berani, nekat, tidak takut mati dan berjiwa besar-pokoknya jadi lebih greng-greng-greng.
Saya sudah tes pasar dan merek TW itu lebih ada artinya bagi konsumen bawah dan menengah Indonesia dibandingkan TK.
[Catatan Penulis:]
{Tulisan ini hanya wujud kepedulian penulis pada masalah sosial dan karakter masyarakat Indonesia. Tulisan ini sudah ditolak di hampir seluruh penerbitan media cetak Indonesia.
Sayang sekali kebebasan berekspresi masih sering disikapi secara tidak cerdas dan dewasa. Alangkah indahnya hidup kita ini bila dipenuhi oleh suasana damai, tentram, aman dan makmur. Hanya dengan kesatuan dan persatuanlah, negara tercinta ini akan dapat bangkit kembali.
Saya mengijinkan tulisan ini dapat disebarluaskan keseluruh penjuru nusantara ini, agar kita semua dapat melihat dengan lebih jelas lagi, kesemuan dan kepalsuan seperti apa yang kita miliki dan bagaimana kita selanjutnya bersama-sama melihat masa depan yang lebih cerah dan berguna bagi anak-anak kita tercinta.}
© Copyright 2024, All Rights Reserved