Kalangan pers dan publik secara luas menyaksikan melalui pemberitaan media seputar aksi unjuk rasa sejumlah massa yang mengaku karyawan Artha Graha ke kantor redaksi Tempo yang sempat diwarnai ketegangan dan suasan panas.
Pro dan kontra pun bermunculan menyikapi peristiwa yang terjadi Sabtu siang (8/03/). Semua pihak memang prihatin menyaksikan kejadian itu. Namun di satu sisi, baik publik maupun media, sekali lagi diuji untuk bisa menyelesaikan konflik akibat pemberitaan secara adil dan proporsional?
Bagaimana duduk soalnya? Dalam suratnya ke redaksi POLITIKINDONESIA.COM, pimpinan {Media Centre Artha Graha}, Yusuf Yazid menjelaskan latar belakang peristiwa hingga munculnya aksi ke kantor Tempo tersebut.
Aksi itu, menurut Yusuf, merupakan buntut dari pemberitaan Majalah Tempo yang mengkait-kaitkan persoalan kebakaran di Pasar Tanah Abang dengan Tomy Winata, bos Artha Graha Grup.
Dalam pemberitaannya, kata Yusuf, Majalah Tempo seolah-olah memposisikan Tomy Winata sebagai pihak yang berada dibalik terbakarnya Pasar Tanah Abang, sehingga mengakibatkan karyawan dan pimpinan Artha Graha dilanda keresahan akibat pemberitaan tersebut.
“Berkali-kali pak TW (Tomy Winata) mendapat ancaman dan teror lewat telpon dari orang-orang yang mengaku perwakilan pedagang pasar Tanah Abang,” papar Yusuf.
Disesalkan Yusuf, pihak Tempo tidak pernah mengajukan permohonan wawancara kepada Tomy Winata. “Jangankan tertulis, secara lisan pun tidak,” ujar Yusuf. Sehingga apa yang ditulis Tempo itu tak pernah dikonfirmasi secara benar dan etis menurut kode etik jurnalistik.
Akibat lain dari pemberitaan Tempo itu, lanjutnya, Grup Artha Graha dan seluruh jaringannya mendapat ancaman pembakaran dan teror terus menerus.
Melihat implikasi yang timbul, menurut Yusuf, justru Majalah Tempo sendiri telah melakukan premanisme jurnalistik dengan berlindung dibalik kebebasan pers.
“Pimpinan dan karyawan Artha Graha telah dijadikan objek dan sasaran pembunuhan karakter oleh Tempo maupun pihak lain yang memanfaatkannya,” kata Yusuf.
Padahal, lanjut Yusuf, sejak dulu, Grup Artha Graha sangat menjunjung tinggi kehidupan pers yang demokratis dan bertanggungjawab. Karena, lanjutnya, pers merupakan salah satu pilar untuk menciptakan tegaknya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia tercinta ini.
“Kami juga tentu tidak menginginkan, kebebasan pers yang mulai tumbuh di Indonesia disalahgunakan oleh lembaga pers itu sendiri. Sebab hal ini akan membunuh kebebasan yang sudah mulai tumbuh itu,” tandasnya.
Sebelumnya, kepada POLITIKINDONESIA.COM, Tomy Winata menyatakan dirinya tidak pernah mengajukan proposal membangun pasar Tanah Abang sebagaimana ditulis oleh Majalah Tempo.
“Jangankan mengajukan proposal, kepikir aja nggak. Apalagi melihat begitu banyak pedagang yang barangnya hangus habis terbakar, menjadi terlantar. Saya malahan sedang berpikir bagaimana bisa menolong pra pedagang itu, “ tandasnya di kediamannya, Sabtu (08/03).
Tomy mengaku telah didatangi pengusaha Ciputra dan pimpinan majalah tempo untuk membicarakan persoalan yang diberitakan majalah Tempo. Kepada mereka Tomy meminta agar klarifikasi yang hendak dilakukan Tempo pada penerbiotan edisi pekan depan hendaknya ditempatkan pada tempat yang strategis dengan porsi yang besar. Permintaan itu didasarkan pada upaya pemulihan nama baik.
Berkaitan dengan aksi unjuk rasa, Tomy Winata membantah dirinya telah memerintahkan dan membiayai aksi unjuk rasa ke Majalah Tempo. “ Saya akui memang ada beberapa karyawan dan teman saya yang berdemo ke sana, tapi itu memang inisiatif mereka sendiri, tak ada perintah dari saya,” katanya kepada POLITIKINDONESIA.COM.
Tomy Winata berharap semua pihak melihat persoalan ini secara proporsional. “Jangan hanya aksi unjuk rasa yang dibesar-besarkan dan seolah-olah kami yang salah semuanya dan hanya TEMPO yang benar sendiri, harus dilihat latar belakangnya,” tegas Tomy Winata.
Masih menurut Tomy, dirinya melihat adanya indikasi Majalah Tempo maupun pihak yang menggunakan Tempo memang berniat untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap dirinya.
“Jelas, ini pembunuhan karakter, saya sungguh menyayangkan, karena selama ini TEMPO menjadi acuan saya dalam mempelajari situasi politik nasional dan saya juga termasuk orang yang prihatin ketika TEMPO dibreidel,” kata Tomy dengan nada tinggi.
Pengusaha berusia 45 tahun ini mengungkapkan, ketika TEMPO dibredel, dia justru ikut membantu dan menampung sebagian karyawan Tempo di Majalah PILAR yang berada dilingkungan grup Artha Graha.
Sebagai media yang pernah memiliki reputasi besar di masa lalu, Tomy Winata sangat menyesalkan sikap Tempo yang tak pernah melakukan wawancara terhadap dirinya. “ Saya tak pernah diwawancara oleh wartawan Tempo, “ tegasnya.
Sementara itu, dari pantauan POLITIKINDONESIA.COM, aksi unjuk di depan kantor Majalah Tempo, Sabtu (8/3), berlansung dalam suasana panas. Sempat terjadi ketegangan antara perwakilan pengunjuk rasa saat melakukan dialog dengan Ahmad Taufik dari redaksi Majalah Tempo.
Salah satu perwakilan dari pengunjuk rasa memaksa Taufik untuk menyebut siapa sumber dari berita tersebut. Namun hal itu ditolak dengan alasan kode etik pers. Rupanya salah seorang wakil pengunjuk rasa naik pitam dan melempar kotak tisu yang mengakibatkan salah seorang wartawan tempo terluka.
Perdebatan semakin meruncing, karena tidak ada keesepakatan diantara kedua belah pihak. Setelah Bambang Harimurti, pimpinan redaksi Majalah Tempo hadir, baru ada kesepakatan bahwa perundingan diselesaikan di kantor Polres Jakarta Pusat.
Dalam perundingan di ruang Kapolres Jakarta Pusat disepakati bahwa persolan tersebut akan diselesaikan melalui jalur hukum dan kedua belah pihak bisa mengendalikan diri agar tidak terjadi keresahan-kerasahan baru.
© Copyright 2024, All Rights Reserved