Rencana pemerintah mengimpor 500.000 ton beras dari Thailand dan Vietnam terus menjadi sorotan. Alasan pemerintah, impor itu untuk merespon harga yang merangkak naik. Sementara Kementerian Pertanian mengklaim, Indonesia surplus beras. Terlebih, akhir Januari ini, sejumlah daerah mulai panen raya.
Anggota Komisi IV DPR RI Ichsan Firdaus meminta pemerintah membenahi data produksi beras sehingga tidak memicu kebingungan di masyarakat. Kementerian Pertanian (Kementan) harus berani jujur soal data pangan terkait ketidaksinkronan harga beras yang meningkat di tengah klaim surplus beras.
Faktanya saat ini ada gejolak harga beras di tingkat konsumen dan muncul kebijakan impor. Ichsan menilai banyak “hantu” bergentayangan dibalik kisruh beras ini.
“Hantu yang saya maksud adalah adanya klaim surplus, spekulan dan mafia beras. Masalah tersebut kerap kali muncul, namun hingga saat ini belum ada upaya dari pemerintah untuk mengatasi dan memberantasnya. Selain itu, pemerintah juga harus jujur soal data. Jangan ada akrobatik yang menciptakan hantu tersebut,” kata politisi Golkar ini kepada politikindonesia.com di Jakarta, Kamis (18/01).
Diakui, dari tahun ke tahun data pangan memang selalu bermasalah. Data tersebut sering diragukan kebenarannya karena sering dianggap berbeda antara yang tertulis dalam dokumen dengan kenyataan yang ada di lapangan. Padahal anggaran pertanian cukup besar. Misalnya, produksi anggarannya mencapai Rp20 triliun hingga Rp30 triliun. Bahkan, angkanya lebih besar dibanding periode 2009-2014.
“Namun, hasilnya tak memuaskan sama sekali. Kami sangat kecewa terhadap kinerja produksi pertanian. Padahal anggaran pertanian cukup besar. Mereka juga selalu bilang produksi surplus, tapi di lapangan tak ada hasilnya. Hal itulah yang harus diperbaiki. Jadi, wajar saja jika pengambilan kebijakan pangan selama ini masih belum efektif. Karena datanya memang tidak valid. Oleh sebab itu, perbaikan data pangan ini harus segera dilakukan,” ungkapnya.
Dijelaskan, pihaknya sudah mengingatkan pemerintah untuk segera memperbaiki data pangan, terutama beras. Sebab, penggunaan data yang tidak akurat akan berdampak pada pengambilan kebijakan yang tidak tepat. Selain itu, juga rentan terhadap manipulasi kebijakan jika datanya tidak benar. Hal ini perlu adanya koordinasi di kalangan pemerintah, terkait siapa yang seharusnya merilis data pangan.
“Seharusnya, pemerintah membuat sistem data yang terpusat. Sebab dengan data tersebut diharapkan hal-hal terkait kebijakan ekspor impor suatu komoditas pangan kedepannya bisa diambil dengan lebih cermat. Sehingga dapat menghindari kerugian negara yang lebih besar. Jadi tak perlu menyampaikan sesuati yang semestinya tidak harus disampaikan,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menambahkan, kebijakan impor beras yang diambil pemerintah tidak tepat. Karena impor dilakukan jelang masuknya musim panen. Sehingga beras impor yang masuk dikhawatirkan merusak harga gabah petani. Namun, pihaknya memahami tujuan pemerintah mengimpor beras khusus, yaitu untuk menjaga pasokan dan menstabilkan harga.
“Kami bisa memahami ada rencana impor, karena stok menipis. Di antaranya, stok di Perum Bulog hanya 900 ribu ton dan sudah digunakan untuk operasi pasar. Apalagi, stok di masyarakat saat ini memang pas-pasan dan tidak merata. Tapi situasi itu berada dalam situasi menjelang panen. Oleh sebab itu, kebijakan impor beras ini harus disertai dengan kehati-hatian. Jika tidak, maka impor tersebut justru akan merugikan para petani lokal,” ujarnya.
Pihaknya menilai, dalam rencana impor beras telah terjadi maladiministrasi. Indikatornya, penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik. Kementan hanya menghitung berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah stok beras secara nyata. Sehingga kenaikam harga beras terjadi tanpa ada bukti temuan penimbunan. Hal itu mengindikasikan bahwa terjadi mark up data produksi pangan selama ini.
“Pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat berdampak pada pengambilan keputusan yang berpotensi keliru. Oleh sebab itu, pemerintah harus bisa menghentikan pembangunan opini surplus dan perayaan panen yang berlebihan. Kami pun memberikan warning karena kami punya fungsi pencegahan,” urainya.
Indikator maladmistrasi lainnya, lanjut Ahmad, dengan penunjukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai importir beras sebanyak 500 ribu ton. Walaupun, pemerintah secara resmi sudah membatalkam penugasan impor beras oleh PT PPI. Namun, langkah impor beras tetap akan dilakukan pemerintah dengan menunjuk Perum Bulog untuk mengeksekusi rencana itu dengan jumlah impor yang sama.
“Pembatalan penugasan kepada PPI lantaran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog sebagai pihak yang bertugas untuk impor dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Karena di Indonesia hanya Perum Bulog yang memiliki notifikasi dari World Trade Organization (WTO) untuk melakukan impor beras. Jadi PT PPI bukan institusi yang benar untuk impor,” imbuhnya.
Dipaparkan, pihaknya tidak anti atau pro kebijakan impor beras oleh pemerintah. Namun, dalam kasus pangan ini kepentingan pihaknya adalah agar semuanya dilakukan sesuai aturan dan tertib administrasi. Kalau tidak benar, pihaknya harus mengingatkan karena bertugas sebagai pengawas.
“Kami menyarankan, agar Kementan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program cetak sawah, luas tambah tanam (LTT), benih subsidi, dan pemberantasan hama. Jadi, kita tidak perlu lagi berdebat soal surplus atau tidak karena melelahkan. Faktanya, stok pas-pasan dan tidak merata. Sehingga terjadi kenaikan harga,” tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved