Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor Bank Dadang Nasional Indonesia.
Dakwaan tersebut dibacakan dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/05). Dalam dakwaanya, Jaksa KPK menyatakan, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara sebesar Rp4,580 triliun.
Dakwaan menyebut, Syafruddin melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim.
"Terdakwa melakukan perbuatan memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4.580.000.000.000," kata jaksa.
Jaksa merincikan kesalahan terdakwa selaku Ketua BPPN adalah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Selain itu, terdakwa Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Nursalim.
Padahal Sjamsul belum selesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN.
Jaksa menekankan, kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).
Dakwaan menyebut, pada 4 April 1998, BPPN mengeluarkan SK yang menyatakan BDNI sebagai Bank Take Over.
Selanjutnya, 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank Restrukturisasi.
Kemudian, BDNI mendapat dana BLBI dari BPPN. Bantuan itu berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh financial advisor yaitu J.P Morgan, Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan pemegang saham pengendali Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).
Setelah perhitungan, jumlah kewajiban Sjamsul sebesar Rp47,2 triliun yang dikurangi nilai aset sebesar Rp18,8 triliun. Maka, besar JKPS terhadap Sjamsul Nursalim sejumlah Rp28,4 triliun.
Dalam kesepakatan, Sjamsul akan membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset sebesar Rp27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset.
Namun, setelah audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD dan PT WM atas piutang Rp4,8 triliun kepada BDNI digolongkan sebagai kredit macet.
Menurut jaksa, 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Namun, Syafruddin tak memberikan laporan rinci ihwal penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya terkait misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun.
Syafruddin juga tidak melaporkan ada kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi, serta tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.
Karena itu, akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang berisikan antara lain yakni menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.
Menurut jaksa, pada12 April 2004, terdakwa dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No 16 di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Jaksa mengatakan bahwa dugaan kerugian negara dalam kasus ini merujuk laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI tangal 25 Agustus 2017.
Atas perbuatannya, Syafruddin diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Usai mendengarkan surat dakwaan, Syafruddin melalui penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra mengatakan akan mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum, pada sidang berikutnya.
Yusril menyebut dakwaan KPK terhadap Syafruddin telah error in persona atau salah orang. "Sebenarnya sebagai Kepala BPPN kan hanya melaksanakan apa yang jadi keputusan KKSK," kata Yusril di Pengadilan Tipikor Jakarta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved