Sindikat pengedar ganja asal Aceh di Surabaya kembali berhasil diungkap jajaran Polda Jatim. Sebelumnya pada bulan lalu puluhan kilogram ganja asal Aceh ditemukan di Kampus Untag, kini Polsekta Gubeng berhasil menangkap empat pengedar asal Aceh dengan barang bukti 6,25 kilogram ganja kering.
Keempat tersangka berikut barang bukti kini ditahan di Mapolsekta Gubeng. Mereka adalah Abdul Ghofur, 23, asli Lhokseumawe, beralamat di Pakis Aji Malang; Nasarudin, 31, asal Bireun, tinggal di Pakis Aji; Anwar alias Anri, 25, asal Pidie, tinggal di Jalan Bulak Banteng Surabaya; dan Musrizal, 25, kelahiran Aceh Utara, beralamat di Jalan Kupang Krajan.
Terungkapnya sindikat ganja asal Aceh ini tak lepas dari partisipasi masyarakat yang memberikan informasi ke polisi. Semula, seperti pengakuan Kapolsekta Gubeng AKP Sucahyo Hadi, informasi tersebut tak dipercayai polisi, sebab selama ini tak ada peredaran ganja di daerah Kupang Krajan. "Awalnya, kami tak percaya. Sebab, tidak pernah ada kabar peredaran ganja di daerah itu," kata AKP Sucahyo Hadi.
Informasi tersebut menyatakan bahwa Musrizal yang kesehariannya bekerja sebagai tabib pengobatan alternatif di Kupang Krajan mampu menyediakan pesanan ganja dalam jumlah besar, dengan harga Rp3,5 juta per kilogram. Lalu anggota Polsekta Gubeng menyamar sebagai pembeli dan ingin melakukan transaksi. "Kami mencoba transaksi. Ternyata, dia benar-benar sanggup menyiapkan ganja kering siap isap," ungkap Sucahyo tentang awal penangkapan tersebut.
Dari tangan Musrizal, polisi menyita seperempat kilogram ganja. Ketika diintrogasi Musrizal coba berbelit-belit, namun akhirnya dia buka mulut juga tentang jaringannya. Kepada polisi, dia mengaku kerap kulakan ganja dari Nasarudin dan Ghofur yang tinggal di Malang.
Berdasarkan informasi dari Musrizal, polisi lantas menyiapkan strategi jebakan agar mereka mau membawa ganja ke Surabaya. Namun, untuk menyiapkan pesanan ganja tersebut, Nasarudin dan Ghofur mengaku akan kulakan ganja terlebih dulu di kawasan Muncar, Banyuwangi. "Kami turuti saja dulu. Begitu masuk Terminal Purabaya dengan bus jurusan Banyuwangi-Surabaya, mereka langsung kita sergap," jelas Sucahyo dengan bangga atas keberhasilannya itu.
AKP Sucahyo juga menceritakan bagaimana sulitnya menjebak sindikat ganja asal Aceh itu. Agar tak dicurigai, polisi mesti harus meminta bantuan rekan-rekannya yang pintar bahasa lokal Aceh. "Kebetulan, kami punya banyak kenalan polisi asal Aceh. Kami minta bantuan mereka menerjemahkan," terang perwira pertama tersebut. Misalnya, ingin memesan enam kilogram ganja, polisi mengirimkan pesan: Teuku, saya pesan enam debuh (daun ganja, Red).
Ketika akan bertransaksi, Sucahyo menambahkan, dalam bus itu ternyata tidak hanya ada Nasarudin dan Ghofur. Tapi, mereka juga mengajak seorang rekannya asal Aceh yang tidak lain adalah Anwar, warga Aceh yang tinggal di Jalan Bulak Banteng. Dalam jaringan tersebut, ternyata peran Anwar sama seperti Musrizal. "Mereka ini satu rangkaian dan kerap kali meracuni Surabaya dengan daun memabukkan itu," terangnya. Enam kilogram ganja yang dibawa tiga orang tersebut disimpan dalam ransel.
Setelah keempat sindikat ini berhasil diintrogasi, polisi mendapat gambaran yang cukup bagaimana daun memabukan tersebut masuk ke Surabaya. Mereka mengatakan, dari Aceh, ganja itu diselundupkan lewat jalur laut melalui Pelabuhan Muncar dengan jasa kapal-kapal nelayan. "Di pelabuhan tradisional pengawasannya lemah," kata Sucahyo. Nasarudin dan Ghofur membeli ganja yang baru turun dari kapal seharga Rp 2,2 juta per kilogram. Musrizal lantas membelinya seharga Rp 2,8 juta per kilogram. "Jadi, keuntungannya berlipat-lipat," ujar Sucahyo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved