"Saya berhasil dan menang karena tidak didikte oleh siapa pun. Saya merasa berhasil karena saya tidak mengingkari nurani saya. Dan saya masih menjaga martabat, serta menjaga harga diri saya. Maka saat ini, saya menang.”
Penegasan itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memberi kuliah umum bertajuk "Kebijakan Publik dan Etika Publik" di Hotel Ritz-Carlton, Selasa (18/05) malam.. Jika disimak, baru kali ini Sri Mulyani bicara blak-blakan sejak mencuatnya kasus bailout Bank Century, hingga pengunduran dirinya karena ditunjuk sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Sri Mulyani menegaskan keputusan mundur dari kabinet dan pergi ke Washington bukanlah suatu kekalahan. “Sebagian dari Anda, mungkin menanyakan apakah Sri Mulyani kalah? Apakah Sri Mulyani lari? Dan saya yakin, banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu lost atau kehilangan. Kepada semua Anda yang ada di sini, saya katakan, bahwa saya menang. Saya berhasil."
Dikatakan Sri Mulyani, kepergiannya justru menjadi kemenangan, karena dia tidak didikte oleh kekuatan politik yang tidak menghendaki keberadaannya dalam jajaran pejabat publik. “Kemenangan dan keberhasilan saya, adalah tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang menginginkan saya tidak di sana lagi." tegasnya.
Sri Mulyani mencoba menerangkan kepada pihak-pihak yang menyesalkan keputusannya untuk mundur dari Menkeu. “Ini adalah suatu kalkulasi, bahwa sumbangan saya, atau apa pun yang saya putuskan sebagai pejabat publik, tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik karena perkawinan kepentingan sangat dominan. Banyak yang mengatakan ini adalah kartel. Saya lebih suka mengatakannya kawin, walaupun jenis kelaminnya sama," ujar dia.
Pada bagian akhir kuliah umum itu, Sri Mulyani mengungkapkan alasan dirinya merasa menang. “Saya berhasil karena tidak didikte oleh siapa pun. Saya merasa berhasil karena tidak mengingkari nurani saya, dan saya masih menjaga martabat, serta menjaga harga diri saya. Maka saat ini saya menang,” ujarnya menutup kuliah umum itu.
Langka Etika
Pada bagian lain ceramahnya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia masih sangat langka. Orang yang menegakkan etika, malah dianggap sebagai orang aneh.
Diceritakannya, saat bekerja di IMF (Dana Moneter Internasional), jika terjadi keraguan soal norma-norma konflik kepentingan, ada forum untuk mempertanyakannya, sehingga menghasilkan keputusan yang baik. Dengan begitu, bekerja di lembaga seperti itu, menjadi sangat mudah. “Namun saat kembali ke Indonesia, saya sering menghadiri rapat tentang suatu kebijakan yang akan berimplikasi pada anggaran, baik belanja atau insentif, ternyata pihak yang ikut dalam kebijakan itu yang akan mendapatkan keuntungannya. Tidak ada rasa risih," ujar dia.
Sri Mulyani menuturkan, kalau kebetulan yang menjadi pejabat itu berlatar belakang pengusaha, dia bisa melepaskan bisnisnya. Namun, tetap saja, ada banyak anggota keluarga sang pejabat tersebut yang menjalankan bisnisnya. “Lalu, ketika dia membuat kebijakan, saya dibuat terpana atau bengong. Ada keputusan yang dibuat, lalu esok harinya yang mengimpor barang (atas dasar keputusan itu) adalah perusahaannya,” ujar Sri Mulyani.
Dikatakan Sri Mulyani, cara semacam ini adalah ‘penyakit’ seperti zaman Orde Baru. Hanya saja, dulu dibuat secara tertutup. “Sekarang malah dibuat seolah telah dibuat dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, namun sebenarnya tanpa etika," ujarnya.
Sri Mulyani bercerita, ketika menjadi menteri, dia sering kali pejabat publik kebetulan menjadi komisaris dalam perusahaan yang akan dibahas rapat itu agar keluar dari ruang rapat. Sikap tegas yang ditunjukkannya itu, justru dibalas dengan cibiran. "Ada satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas berhubungan dengan perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu . Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang dibicarakan silahkan keluar. Mereka malah bilang, Mbak Ani jangan sadis begitu," tuturnya.
Dikatakan Sri Mulyani, kultur politik dan sikap pejabat publik yang seperti itu, membuatnya resah. Apalagi proses politik hingga terpilihnya pimpinan daerah atau pimpinan tertinggi republik di awal oleh proses yang sangat menguras biaya sangat tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi pejabat publik di daerah pun membutuhkan biaya tinggi.
"Tentu ini menjadi keresahan bahwa dalam ruang publik, masyarakat yang seharusnya menjadi ultimate share holder kekuasaaan, yang memilih CEO di Republik ini. Dan memilih yang dia minta untuk mengawasi CEO-nya. Harus dihadapi kenyataan bahwa pemilihan itu di awal di hulunya dengan proses yang membutuhkan biaya yang luar biasa. Termasuk Presiden. Bahkan kalkulasi return on investment pun tidak masuk," tuturnya.
Pada bagian lain , Sri Mulyani mengatakan keberlanjutkan reformasi birokrasi di Indonesia sangat tergantung pada sikap kelompok menengahnya. Kelompok menengah inilah yang memberikan energi pada reformasi karena menjadi pembayar pajak yang mengerti pada maksud dan tujuan pajak itu sendiri.
"Kelompok seperti Anda yang kelas menengah dan yang sangat sadar membayar pajak untuk menjaga republik ini tetap berdiri. Sebetulnya, di tangan orang seperti Anda-lah republik ini harus dijaga," kepada audien yang mendengarkan kuliahnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved