Akhirnya, catatan sejarah penyandang Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bertambah lagi. Syafruddin Arsyad Temenggung tercatat menjadi Kepala BPPN yang ketujuh sejak lembaga itu dibentuk 1998 lalu. Sebelumnya, adalah Bambang Subianto, Iwan Prawiranata, Glenn Yusuf, Cacuk Sudarijanto, Edwin Gerungan dan I Putu Gede Ary Suta.
Tampaknya, soal rentang waktu tidaklah terlalu bersahabat dengan lembaga yang kini dipimpin Syafrudin. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dewasa ini hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk merampungkan seluruh tugasnya. Sejauh ini, setelah berjalan lebih kurang empat tahun, BPPN hanya mampu merestrukturisasi (menjual) sekitar 20 persen dari total nilai aset yang sebesar 66 milyar dollar AS.
Jadi, adalah sangat wajar kalau BPPN diragukan kemampuannya merestrukturisasi sisa 80 persen dari aset tersebut dalam waktu hanya dua tahun (Januari 2004) yang masih dimilikinya. Apalagi, selama ini, carut-marut pelaksanaan restrukturisasi itu menjadi sebuah persoalan tersendiri.
Patutlah jika muncul beragam tanda tanya, mengapa dan bagaimana BPPN dapat jatuh ke jurang kekacau-balauan seperti ini. Faktor apa yang menjadi hambatan dan akar permasalahan bagi BPPN untuk menyelesaikan tugasnya dengan benar.
Pada 27 Januari 1998, BPPN ditugasi menangani masalah restrukturisasi dan rehabilitasi perusahaan konglomerat beserta bank-banknya, untuk mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dijarah para pengusaha terkemuka itu.
Sebab, penyalahgunaan dana BLBI merupakan skandal keuangan terbesar dalam sejarah republik ini. Penyelewengan dana BLBI ini, seperti diketahui membawa akibat pada terhambatnya pemulihan perekonomian nasional, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dan tanggung jawab terhadap pengembalian utang dan restrukturisasi ada ditangan BPPN, yang sekarang berada di bawah Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
BPPN melakukan pengambilalihan secara besar-besaran dan pengelolaan perusahaan dan aset yang sebelumnya dimiliki oleh "obligor nakal" atau para konglomerat Orde Baru. Sayang, dalam kenyataannya, keakuratan nilai aset di tangan BPPN tidak sama dengan yang ada dalam catatan. Nilai aset yang pada awalnya diperkirakan Rp 660 trilyun, ternyata hanya tinggal sekitar Rp 160 trilyun. Siapa yang harus bertanggungjawab? Atau dimintai tanggungjawab?
Namun, walaupun kondisinya demikian, BPPN tetap merupakan lembaga pemerintah yang paling basah dan kaya. Lembaga ini bertanggung jawab atas aset sekitar 300 konglomerat dan ribuan perusahaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Karena itu, banyak sekali kelompok kepentingan yang ingin memegang peranan di lembaga ini.
Siapa saja mereka? {Pertama}, orang-orang dekat presiden.
Serupa dengan kondisi pada masa pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang tanpa terasa (?) melakukan pilih kasih terhadap elite pengusaha tertentu.
Syamsul Nursalim, Marimutu Sinivasan, Prayogo Pangestu, Eka Tjipta Wijaya, Mochtar Riady, apakah berbeda dengan Bob Hasan dalam mempraktikkan “kejahatan finansial” mereka selama Orde Baru? Kenapa Bob bisa di Nusakambangan? Yang lain tetap dianakemaskan dan dilindungi.
{Kedua}, elite pengusaha tetap mempraktikkan cara lama mereka yakni melakukan penyuapan dan menggunakan koneksi untuk mengatasi masalah dan juga untuk meraih apa pun yang mereka inginkan. Lebih jelas lagi, konglomerat telah “menitipkan” sebagian besar aset kerajaan bisnisnya di bawah perlindungan payung BPPN.
Yang tidak pernah disadari (?) bahwa para obligor korup ini sedang menerapkan pola menunggu dan menunda, sampai momentum ekonomi dan politik {pas}, maka para penjahat ekonomi ini akan mengambil alih kembali kepemilikan atas aset-aset tersebut. Pengambilalihan ini, akan diselimuti dengan cara mempergunakan bendera penanam modal asing.
{Ketiga}, anggota partai politik (parpol) juga sedang mencoba untuk ambil bagian dalam BPPN. Anggota parpol-parpol ini kelihatan terburu-buru dan tanpa perhitungan “menekan” BPPN untuk menjual aset-aset bekas konglomerat. Tidak ada alasan-alasan ideologi yang melatarbelakangi tindakan mereka ini, tapi hanya lah masalah kerakusan dan kepentingan pribadi dan kelompok untuk memperkaya diri dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan memanfaatkan posisi yang ada saat ini.
{Keempat}, kehadiran beberapa reformis dan generasi muda ekonom Indonesia yang condong pada teori neoklasik, yang diharapkan mampu menolong BPPN untuk berkerja dengan baik, ternyata sejauh ini masih dihadapkan pada perjuangan dan tantangan yang sangat sulit.
Nah, mampukah Syafrudin Temenggung yang kini menjadi nachoda BPPN mengatasi semua ini? Lihat saja nanti.
© Copyright 2024, All Rights Reserved