Gerakan sebagian anggota MPR untuk menghentikan amandemen UUD’45 ditanggapi secara kritis oleh publik. Sikap anggota MPR itu dinilai bisa membawa Indonesia kembali ke alam Orde Baru yang penuh dengan otoritarianisme. Sikap demikian justru bertentangan dengan agenda reformasi.
Kritik keras itu antara lain diluncukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (Prodem), mantan Menteri Kehakiman Muladi, praktisi hukum Adnan Buyung Nasution dan Slamet Effendi Yusuf dari MPR.
Muladi malah menilai anggota MPR tersebut bersikap terlalu ekstrim dan justru bertetangan dengan agenda reformasi. “Amandemen tidak bisa dihambat tapi kalau dibenarkan arahnya bisa. Beri masukan bagian mana yang keberatan,” ujar Muladi di Jakarta akhir pekan ini.
Bila perubahan konstitusi itu dihentikan, kata Muladi, maka Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru. Dan menurutnya hal itu bertentangan dengan agenda reformasi berdasarkan ketetapan MPR.
Namun orang dekat mantanPresiden Habibie ini menganjurkan sebaiknya yang melakukan amandemen ialah komisi konstitusi yang terdiri dari para ahli tata negara, meski berada di bawah koordinasi MPR. “Jadi jangan dari hasil rapat MPR,” katanya.
Komisi yang berhak merombak UUD tersebut harus benar-benar {accountable} dan berlatar belakang akademis dan hasilnya harus didiskusikan kepada masyarakat.
Senada dengan Muladi, Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution berpendapat, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 harus diubah total. Namun, harus dibentuk dulu suatu komisi konstitusi untuk membangun kerangka perubahan UUD 1945 itu.
'Saya menolak keras pandangan yang terlalu cepat menyatakan simpati kepada pihak yang ingin menghentikan amandemen UUD 1945,' kata Buyung.
Bila amandemen UUD 1945 tidak dilanjutkan akan menghentikan proses reformasi di Indonesia. Bahkan, hal itu juga akan membangkitkan kembali pikiran-pikiran otoriter, represif dan anti demokrasi di Indonesia.
Sebab selama ini UUD 1945 ternyata tidak mampu membangun pemerintahan yang demokratis dan melindungi HAM bagi rakyatnya. Selama dua periode yang telah dijalani
bangsa Indonesia, yaitu Orde Lama dan Orde Baru, semuanya memakai UUD 1945 tetapi pemerintahan berlangsung dengan pola diktator.
'Kalau kita mengaku demokrat, tidak akan menolak perubahan itu. Jadi paling ideal adalah perubahan total dan membuat yang baru,' ujar si abang.
Sementara itu, Ketua {Caretaker} Yayasan Lembaga Hukum Indonesia Irianto Subiakto, berpendapat, munculnya penolakan terhadap perubahan amandemen UUD 1945 merupakan dampak dari kelemahan proses amandemen selama ini, yang hanya ditentukan oleh MPR. Untuk itu, proses perubahan UUD 1945 harus diserahkan kepada komisi kosntitusi yang independen.
"Proses amandemen konstitusi selama ini sangat kental dengan kepentingan-kepentingan sesaat,' katanya. Dia mengingatkan, perubahan konstitusi sudah menjadi keharusan dan kebutuhan dalam era transisi menuju ke demokrasi. Karena itu, perubahan UUD 1945 harus melalui mekanisme alternatif, yaitu komisi konstitusi.
'Komisi itu tidak hanya melakukan amandemen, tetapi juga membuat konstitusi baru. Komisi konstitusi yang independen akan lebih partisipatif, transparan, dan komprehensif dalam mem- buat UUD,' tandas Irianto.
Seruan perlunya konstitusi baru menuju Indonesia baru dan pembentukan komisi konstitusi juga disuarakan oleh Jaringan aktivis Pro Demokrasi (Prodem). Untuk itu, Prodem juga meminta agar dibentuk sebuah komisi konstitusi independen yang akan bertugas menyusun konstitusi baru tersebut.
Menurut Ketua Presidum Prodem Nuku Sulaiman, agar penyusunan konstitusi baru nanti bisa menyerap aspirasi rakyat dari Sabang sampai Merauke maka komisi konstitusi yang akan dibentuk nanti harus independen.
Ternyata, dalam hal kepentingan perlunya komisi konstitusi ini, mulai ditanggapi positif oleh anggota MPR. Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR bidang amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Slamet Effendi Yusuf menyatakan setuju pada pendelegasian amandemen kepada suatu lembaga lain. Lembaga lain itu bisa bernama apa saja, baik itu komisi konstitusi atau lembaga konstituante, yang mendapat mandat dari MPR.
Menurut Slamet, persoalan yang menjadi perdebatan sekarang sebenarnya tidak lebih dari masalah sosialisasi. Diakui, situasi sekarang cukup dilematis, karena ada dua pendapat ekstrem menyikapi amandemen UUD 1945. Di satu pihak ingin kembali ke naskah asli, sementara pihak lain menginginkan konstitusi baru. 'Sebenarnya PAH I itu posisinya di tengah, dan sesuai Tap MPR No XI/2001, yakni mengamandemen UUD 1945,' kata Slamet.
Namun jika amandemen ini mengalami kebuntuan, dia menilai tidak tertutup kemungkinan dibentuk lembaga konstituante yang susunan, wewenang dan tugasnya diatur dengan undang-undang. Lepas perdebatan yang berkembang di masyarakat, dia mengingatkan amandemen keempat harus bisa dituntaskan.
Soal adanya pihak yang menolak amandemen dan mengusulkan kembali ke naskah asli UUD 1945, dalam penilaian Slamet karena mereka bersandar pada nasionalis{chauvinistic}. 'Jadi kalau kita hanya mendengar pendapat politisi tua seperti Pak Usep, tanpa mengurangi penghargaan saya pada beliau, ya negara ini nggak akan maju-maju,' katanya.
Dia berpendapat, lembaga konstituante adalah suatu lembaga yang mendapat mandat atau tugas dari MPR. Diakui, hal itu memang tidak disebutkan dalam UUD 1945, termasuk yang sudah diubah. Pasal 37 hanya mengatur soal prosedur, mekanisme dan ketentuan perubahan, sedangkan hak mengubah konstitusi tetap ada pada MPR, seperti diatur pada pasal 3 ayat 1 (Perubahan Ketiga UUD 1945).
© Copyright 2024, All Rights Reserved