Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit (resistensi antimikroba) masih jadi masalah utama di Indonesia. Infeksi tersebut berdampak pada kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan. Bahkan, sudah menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan pertanian.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), l Ketut Diarmita mengatakan, pentingnya identifikasi dan pencegahan dini untuk merespon dan menangani berbagai tantangan global termasuk resistensi antimikroba. Apalagi saat ini pertumbuhan populasi dunia, globalisasi dan degradasi lingkungan yang sangat cepat berdampak terhadap kesehatan manusia. Sehingga obat-obatan yang ada saat ini sudah tidak manjur lagi.
"Padahal penggunakan antibiotik pada manusia dan hewan dianggap sebagai obat dewa yang digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Namun pemakaiannya sering sekali tidak bijak sehingga menimbulkan resistensi. Karena pengawasannya belum optimal dan belum ada regulasi khusus untuk kepentingan pengendalian resistensi antimikroba," katanya kepada politikindonesia.com usai jumpa pers seminar One Health dengan tema "Kolaborasi Pemangku Kepentingan One Health – Aksi Terhadap Resistensi Antimikroba", yang bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization (FAO), di Jakarta, Kamis (16/03).
Menurutnya, konsep One Health memastikan seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pendekatan One Health mencakup pemikiran bahwa permasalahan yang memberikan dampak kepada kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dapat diselesaikan secara efektif melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih baik diantara para pemangku kepentingan dari berbagai disiplin ilmu dan kelembagaan.
"Tentunya semua itu dilakukan untuk menuju masyarakat yang lebih sehat dan bahagia. Karena keamanan kesehatan global merupakan tanggungjawab bersama yang tidak dapat dicapai oleh hanya satu individu atau sektor dalam pemerintahan. Keberhasilannya bergantung pada kolaborasi diantara sektor kesehatan, keamanan, lingkungan dan pertanian, menggunakan pendekatan One Health," ujarnya.
Dijelaskan, resistensi antimikroba merupakan merupakan ancaman kesehatan bagi masyarakat dunia. Sehingga harus segera ditangani secara efektif. Penggunaan antibiotik secara tidak hati-hati baik pada kesehatan manusia maupun agrikultur hanya dapat dikurangi melalui tindakan yang dilakukan bersama-sama secara kolaboratif oleh seluruh sektor kesehatan.
"Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentu harus dapat berkontribusi dalam pengendalian resistensi antimikroba. Untuk itu saya bersyukur, sebab saat ini kami sedang memfinalisasikan dokumen Rencana Aksi Nasional Indonesia yang merupakan hasil pemikiran dan konsep bersama dari berbagai sektor. Kami berharap, bulan Mei tahun ini kami bisa merampungkan dokumen Rencana Aksi Nasional yang nantinya akan disampaikan pada Pertemuan Kesehatan Dunia," ucapnya.
Diungkapkan, saat ini tengah bersiaga dengan mempersiapkan pembentukan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba dan menyiapkan dokumen rencana aksi dan peta jalan (road map) pengendalian resistensi antimikroba yang sejalan dengan rencana aksi nasional, dan terpadu dalam kerangka kerja One Health.
"Kami menyadari bahwa segala upaya yang telah kami rancang dan rencanakan tidak akan optimal dalam implementasinya tanpa peran pemangku kepentingan terkait. Maka dari itu, kami berharap agar asosiasi profesi, pelaku usaha dan industri serta masyarakat bisa ikut berperan sebagai upaya solusi dalsn mengendalikan laju resistensi antimikroba," tandasnya.
Sementara itu, Asisten Dirjen dan Perwakilan Regional Asia-Pasifik, FAO, Kundhavi Kadiresan, menambahkan, pihaknya sepenuhnya berkomitmen pada pendekatan One Health dan saat ini sedang mengembangkan inisiatif One Health di tingkat regional. Untuk memperluas cakupan penanganannya yang tidak hanya dilakukan pada penyakit zoonosis endemik dan emerging.
"Resistensi antimikroba adalah jenis bakteri yang menyebabkan penyakit dan infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Fenomena yang dikenal sebagai resistensi antimikroba ini menjadi ancaman tanpa mengenal batas geografis dan berdampak pada kesehatan masyarakat, hewan dan lingkubgan. Sehingga resistensi antimikroba ini juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan," katanya.
Dipaparkan, selama satu dekade, jumlah korban jiwa dan ekonomi dari penyakit yang dapat menular dari manusia ke hewan meningkat hingga 75 persen. Dengan fakta itu, kerjasama erat lintas sektor yang lebih baik dengan pendekatan One Health bisa dilakukan. Salah satunya mencegah kejadian luas biasa ebola yang parah di Afrika tahun 2014-2015. Contoh lainnya, respon terhadap kasus flu burung di kawasan Asia yang juga menjadi pendemi global.
"Dengan kerjasama One Health ini diharapkan bisa membantu mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman pandemic yang muncul. Kita juga perlu mengadopsi pembelajaran selama satu dekade terakhir bahwa masing-masing sektor dapat berhasil melalui kerjasama dengan koordinasi yang baik," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved