Gagasan Rekonsiliasi Nasional tampaknya bakal sulit terealisir. Pasalnya, berbagai kalangan memiliki prasyarat khusus dalam mencapai rekonsiliasi nasional tersebut. Kelompok LSM dan kalangan intelektual mensyaratkan pengusutan dan pengadilan terhadap para pelaku kejahatan politik dan HAM di masa lalu sebagai syarat untuk tercapainya rekonsiliasi nasional. Sementara di sisi lain, prasayarat yang keras seperti itu malah bisa menjad pemicu terulangnya tindakan represif.
Sastrawan Pramoedya Ananto Toer yang pernah mendekam dalam penjara dan dibuaang ke Pulau Buru di masa Orde Baru menilai rekonsiliasi nasional akan sulit terwujud dan bahkan sebuah omong kosong tanpa mengajukan Soeharto ke pengadilan sebagai orang yang harus bertanggung jawab peristiwa tahun 1965.
“Kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang selama ini terjadi tidak mungkin bisa terungkap tanpa harus terlebih dahulu membongkar kasus kejahatan yang paling terbesar mengawali sebuah kekuasan yang otorioter yaitu rezim Soeharto,” tandas Pramoedya dalam seminar Menemukan Format Rekonsiliasi Nasional di Jakarta akhir pekan lalu.
Pram menilai sejauh ini pemerintahan Megawati tidak melakukan tindakan konkrit dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus 27 Juli 1996 yang telah mengantar Megawati menjadi presiden RI.
Dengan latar belakang tersebut Pram menegaskan, tak akan kompromi dan tidak akan melakukan rekonsiliasi tanpa adanya proses-proses hukum terlebih dahulu terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan, baik yang terjadi pada tahun 1965 sampai kasus-kasus yang terjadi di jaman reformasi sekarang ini.
Senada dengan Pram, Ketua Dewan Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Munir, menyatakan proses rekonsiliasi tidak mungkin bisa terlaksana tanpa adanya proses-proses hukum terlebih dahulu. Dia juga heran terhadap ide rekonsiliasi nasional yang justru muncul dari para korban pelanggaran Ham dan bukan dari para pelaku pelanggaran Ham.
“Proses rekonsiliasi tidak mungkin bisa terlaksana tanpa adanya proses-proses hukum terlebih dahulu, terlepas memang sebagian banyak para korban pelanggaran ham tersebut berasal dari tingkatan ekonomi menengah kebawah,” tandasnya dalam seminar itu.
Munir juga mempertanyakan dan menolak gagasan agar pemerintah segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) yang dajukan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM ) yang baru terpilih untuk masa periode 2002-2007.
Munir berharap agar kerja Komnas Ham lebih serius untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Peristiwa 65, peristiwa Priok, Talang Sari, Aceh Papua, Ambon, peristiwa 27 Juli 1996, Trisakti, Semanggi I dan II dan kasus-kasus pelanggaran Ham lainnya.
Sementara itu, pengamat politik Kusnanto Anggoro justru khawatir jika para pelaku pelanggaran Ham tersebut semakin ditekan justru akan memunculkan silidaritas dari seluruh institusi militer guna melakukan tindakan represif, karena para pelaku pelanggaran Ham tersebut tidak terlepas dari institusi. Akankah rekonsiliasi nasional hanya sebuah impian, tunggu saja?
© Copyright 2024, All Rights Reserved