Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Karantina Nasional untuk menjaga keamanan pangan di Indonesia. RUU itu sekaligus untuk memproteksi serbuan semua jenis pangan impor dari hewan dan tumbuhan, termasuk bioterorisme yang masuk ke Indonesia. Karena makanan merupakan kebutuhan polok yang harus mendapat perlindungan dari negara.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Karantina, Ibnu Multazam mengatakan RUU Karantina ini merupakan revisi dari UU Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. UU tersebut karena dinilai sudah tidak relevan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dalam revisi itu, akan disatukan Badan Karantina yang terdapat di Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan LH dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Dalam revisi UU Karantina itu nantinya akan ditambah kewenangan dari Badan Karantina yang ada di 3 kementerian itu untuk melakukan investigasi terhadap barang yang masuk dan keluar dari Indonesia. Dengan disatukan dan bertanggung jawab kepada Presiden, sehingga bisa menjadi protektor, penjaga keluar masuknya barang ke Indonesia," katanya kepada politikindonesia.com pada "Forum Legislasi: RUU Karantina" di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (01/03).
Menurutnya, draft RUU Karantina saat ini sedang diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk segera disetujui menjadi RUU Karantina seperti yang diusulkan DPR. UU Karantina hampir seluruhnya direvisi sehingga dapat disebut seperti pembentukan UU baru. Karena UU Karantina yang lama berada di bawah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Bea Cukai
“Namun dalam impelementasinya, karantina selalu dibelakang Bea Cukai dan perannya tidak signifikan. Melalui revisi ini akan menguatkan keberadaan karantina, baik kelembagaan maupun fungsinya dalam menseleksi bahan pangan yang memenuhi persyaratan," ujar anggota Komisi IV DPR ini.
Diharapkan, melalui revisi ini bisa menjadi badan penjaga kakayaan keanekaragaman hayati Indonesia yang lebih kuat. Sebab, selama ini diplomasi Indonesia dengan asing lemah dan belum melindungi keanekaragaman Indonesia. Salah satunya, komodo yang merupakan satwa khusus Indonesia, tapi dipinjamkan ke negara Chekoslowakia dan sekarang sudah beranak pinak.
"Namun dalam perjanjiannya, Indonesia tidak memiliki hak untuk meminta anaknya. Sebaliknya, Indonesia meminjam panda dari Taiwan, tapi jika memiliki anak diminta kembali oleh negaranya," katanya.
Dijelaskan, apalagi saat ini sudah memasuki era perdagangan bebas Asean, dimana transksi perdagangan di kawasan Asean menjadi lebih bebas untuk sebagian komoditas. Sehingga nantinya, UU Karantina ini dapat menghambat perdagangan bebas melalui penerapan persyaratan. Sehingga lalu lintas barang yang masuk dan keluar bisa dibatasi. Karena itu barang-barang yang masuk (impor) harus dijamin keamanannya khususnya dari berbagai jenis penyakit yang mengancam kedaulatan pangan negara.
"UU ini justru untuk memperkuat Badan Karantina, guna memproteksi berbagai jenis makanan yang masuk ke Indonesia tersebut. Sehingga posisi hukumnya UU ini berada di depan bea dan cukai. Selama ini kan bea dan cukai berada di depan, tapi dengan UU Karantina ini Badan Karantina ada di depan, atau sebagai manifest untuk barang-barang yang masuk ke Indonesia. Maka, barang-barang yang masuk itu menjadi tanggungjawab penuh importir, yang harus dilaporkan ke Badan Karantina selama 1 x 24 jam,” paparnya.
Dengan demikian, lanjutnya, barang-barang yang masuk ke Indonesia adalah bersih dan sehat atau clear and clearance. Sehingga Badan Karantina menjadi tumpuan utama untuk menjaga barang-barang impor. Terlebih kekayaan hayati Indonesia sendiri sangat besar setelah Brasil, maka harus dilindungi.
"Apalagi belakangan ini sudah banyak penyakit hayati (geologi) dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Buah-buahan yang di-packing (dibungkus) saja seperti apel Amerika Serikat, ternyata masih mengandung penyakit. Bahkan penyakit itu ada yang dibawa melalui air balas kapal khsusunya pada jenis holtikultura. “Sekarang saja terdapat 47 kontainer bawang putih ilegal tanpa dokumen di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menambahkan pihaknya akan mengecam pembuat kebijakan yang mengabaikan kepentingan nasional. Bahkan, pihaknya menengarai ada UU yang transaksional dan berlatar kepentingan pengusaha tertentu, seperti di RUU Pangan.
"RUU yang dibuat berdasar kepentingan pengusaha tertentu maka bisa dipastikan produk UU itu akan merusak sistem yang ada. Seperti ada klausul dalam RUU yang menyebut kriteria produk sesuai pesanan perusahaan tertentu, ada aroma transaksional. Karenanya, RUU Karantina tanaman pangan seharusnya perlu transparan mulai sosialisasi hingga pelaksanaannya," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved