Agaknya teori elektabilitas ini ada benarnya. Sesuatu yang terus naik, pada puncaknya nanti akan kembali turun. Mungkin hal itu yang terjadi pada citra Joko Widodo. Gubernur Jakarta yang kini menjadi Calon Presiden yang diusung PDIP dan Koalisinya.
Sejumlah lembaga survei menyatakan, pasca pemiliu legislatif, elektabilitas Jokowi cenderung menurun. Sebaliknya, elektabilitas kompetitornya, Prabowo Subianto justru menunjukkan tren yang meningkat.
Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu contohnya. Elektabilitas Jokowi setelah pileg menurun menjadi 35,42 persen, dari sebelumnya 40 persen. Sementara elektabilitas Prabowo naik menjadi 22,75 persen setelah sebelumnya hanya 18 persen.
Bahkan, Lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) yang merilis surveinya hari ini menyebut, elektabilitas Prabowo-Hatta kini unggul tipis dari Jokowi-JK. Sementara waktu kampanye, baru dimulai tanggal 4 Juni hingga 5 Juli mendatang.
Pasangan Prabowo-Hatta mendapat perolehan suara 44,9 persen, mengungguli duet Jokowi-Jusuf Kalla dengan 40,1 persen. Sedangkan responden yang menjawab tidak tahu masih ada sebesar 15 persen. Survei itu dilakukan pada kurun waktu 1–4 Juni 2014, pasca pengundian nomor urut, Minggu (01/06) dan deklarasi damai yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (03/06) lalu.
Terhadap menurunnya elektabilitas Jokowi ini, Pengamat Politik dari Konsep Indonesia (Konsepindo) Research and Consulting, Budiman, punya analisa tersendiri. Budiman menyatakan, tren menurunnya elektabilitas Jokowi karena ia dianggap mengabaikan amanah warga untuk membenahi Kota Jakarta selama 5 tahun.
“Ternyata kini beliau menjadi capres. Sehingga sebagian besar publik, kecewa," ujar Budiman kepada pers di Depok, Kamis (05/06).
Budiman menilai, tren meningkatnya elektabilitas Prabowo karena sebagian masyarakat yang dulu mengidolakan Jokowi kini memindahkan pilihannya kepada Prabowo.
Peneliti Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Rully Akbar mengatakan, mayoritas warga Jakarta yang memilih Jokowi saat Pilgub 2012 lalu, merasa kecewa karena Jokowi dianggap tidak menempati janjinya memimpin Jakarta selama 5 tahun. "Warga menjadi kecewa dengan Jokowi," katanya.
Hasil survei LSI ini seolah membenarkan prediksi beberapa tokoh yang menyebut banyak warga kecewa dengan Jokowi. Ratna Sarumpaet, Ketua Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI), yang merupakan mantan Tim Sukses Jokowi saat Pilgub DKI 2012 lalu, mengatakan, warga DKI mulai kehilangan kepercayaan ketika Jokowi dicalonkan sebagai presiden oleh PDIP.
“Jangan salahkan masyarakat, jika nanti kehilangan kepercayaan dan kebanggaan yang sebelumnya ada," ujar Ratna.
Ratna berpendapat, saat ini Jokowi bukan hanya tidak beretika, tapi juga mulai tampak tak memiliki karakter.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SPIN, Igor Dirgantara kepada pers, di Jakarta, Kamis (05/06), mengatakan, pasca pengundian nomor urut, Minggu (01/06) dan deklarasi damai yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (03/06) lalu, pasangan Prabowo-Hatta menerima banyak pujian dari masyarakat.
Masyarakat lebih melihat sosok mantan Danjen Koppasus tersebut semakin humanis dan lebih bersahabat.
“Publik merespon positif perilaku politik Prabowo, yang mengucapkan selamat dan terima kasih kepada banyak pihak, termasuk kompetitornya Jokowi-JK. Sebaliknya, publik kurang mengapresiasi sikap Jokowi yang sering dicitrakan sopan, tapi tampak tegang, dan terlihat enggan membalas ucapan bersahabat dari lawan politiknya," ujar Igor.
Igor mengatakan, di negara demokrasi paling maju seperti Amerika Serikat sekalipun, saling sapa antara kontestan di depan khalayak sudah menjadi keharusan saat pendeklarasian bersama. Hal ini penting untuk menunjukkan kedewasan dalam berpolitik, dan menghindari sikap politik kekanak-kanakan.
Disamping itu, survei SPIN menemukan, perpaduan kandidat presiden yang berlatar belakang militer-Jawa dengan Wapres dari kalangan sipil/luar Jawa, ternyata masih menjadi primadona masyarakat. “43,7 persen masyarakat lebih menyukai, dibandingkan kombinasi capres sipil-Jawa dengan wapres sipil-luar Jawa sebesar 41,3 persen," jelasnya.
Igor menambahkan, tren kenaikan elektabilitas Prabowo-Hatta equivalen dengan ketidakpercayaan publik terhadap isu negatif terhadap Prabowo yang selama ini dicitrakan lawannya sebagai sosok pemarah dan emosional.
Dalam deklarasi pemilu damai masyarakat lebih melihat sosok Prabowo jauh lebih santun, humanis dan bersahabat dibandingkan Jokowi yang selama ini dicitrakan sopan.
Igor mengatakan, jelang Pilpres 9 Juli mendatang, masyarakat cenderung dipengaruhi fakta informasi terbaru atas penampilan kedua pasangan capres-cawapres yang menunjukkan karakter mereka sebenarnya. Misalnya, berupa faktor-faktor simbolis yang terpancar dari aura emosional masing-masing kandidat, seperti kesopanan dan rasa percaya diri. Jadi, menunjukkan rasa persahabatan pada masyarakat dalam kompetisi pilpres yang damai dan berintegritas adalah perlu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved