Ada empat potensi korupsi dalam pengelolaan pajak yang jarang mendapat perhatian publik. Titik-titik itu adalah pengadilan pajak, proses rekonsiliasi data, penagihan piutang negative, dan restitusi pajak. Minimnya pengawasan menjadi salah satu faktor yang membuat ‘kongkalikong’ berlangsung mulus.
Namun, dari empat pintu tersebut, pengadilan pajak kini yang paling banyak mendapat sorotan masyarakat. Bahkan, orang sekelas Menteri Keuangan Sri Mulyani dibuatnya tak berdaya. Simak saja, Menkeu pernah menyatakan keprihatinan dan keheranannya, mengapa selama ini negara sering kalah melawan Wajib Pajak.
Diduga, petugas Ditjen Pajak tidak sepenuhnya membela kepentingan negara karena ‘berkongkalikong’ dengan Wajib Pajak. Pengadilan pajak di Indonesia diduga telah menjadi tempat subur korupsi dalam perpajakan. Itu sebabnya negara kerap dikalahkan wajib pajak dengan persentase antara 70-80 persen selama periode 2002-2009. Tren kalahnya negara terus meningkat pada periode tersebut.
Kalahnya negara diduga karena ada praktik suap kepada aparat pajak maupun hakim pengadilan pajak oleh wajib pajak. Sebagai bukti kongkrit, data ICW menunjukkan selama 2002-2009 total berkas gugatan dan banding yang masuk ke pengadilan pajak sebanyak 22.249 berkas di mana 16.953 berkas dapat diterima secara formal, dan sisanya ditolak. Ternyata, total putusan yang mengabulkan gugatan Wajib Pajak (WP) mencapai 13.672 berkas atau mencapai 81 persen.
Sementara itu, menurut konsultan pemerintahan dan pengamat perpajakan Tarmizi Taridi, dari seluruh korporasi yang mengajukan keberatan pajak sekitar 98 persen ditolak sehingga masuk ke pengadilan pajak. Dari seluruh korporasi yang mengajukan keberatan pajak, hanya sekitar dua persen yang pengajuan keberatannya diterima oleh Ditjen Pajak, sedangkan yang ditolak masuk ke pengadilan pajak. Nah, perusahaan yang mengajukan keberatan pajak dan masuk ke pengadilan pajak ini yang kemudian ditawari keringanan pajak oleh makelar kasus.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi yang mensinyalir bahwa pengadilan pajak merupakan lokasi rawan terjadinya praktik makelar kasus perpajakan. Apalagi pengadilan pajak diisi oleh para pensiunan pegawai Kementerian Keuangan yang telah tidak lagi memikirkan karir di masa depan.
Solusinya, menurut Achsanul, pengadilan pajak harus diperkuat dengan mengisi para pegawai aktif yang memiliki obsesi masa depan serta idealisme. Karena, masih banyak pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan yang bisa bekerja dengan baik di pengadilan pajak. Dia juga meminta masyarakat turut mengawasi pengadilan pajak untuk mengurangi kemungkinan terjadinya praktik makelar kasus.
Menyoal eksistensi pengadilan pajak ini, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD pun angkat suara. Menurut dia, pengawasan internal terhadap pengadilan pajak harus diperkuat agar tidak ada lagi praktik mafia hukum dalam pengadilan pajak. Pengawasan internal merupakan titik lemah pengadilan pajak.
Untuk itu, Mahfud menginginkan agar terdapat model pengaturan pengawasan internal yang kuat baik itu dari pihak Kementerian Keuangan atau dari Mahkamah Agung (MA). Sedangkan pengawasan dari pihak eksternal diperankan oleh berbagai lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, media massa juga bisa berperan sebagai pihak yang mengawasi kinerja dari peradilan pajak.
Mahfud juga menginginkan adanya pengkajian mendalam agar bisa tercipta suatu sistem mekanisme yang benar-benar efektif dalam mengawasi pengadilan pajak. Sebab, lemahnya pengawasan akan berpotensi menjadikan pengadilan pajak diisi oleh sejumlah orang yang melakukan sejumlah praktik mafia hukum.
Sedangkan Ketua MA Harifin A Tumpa mempertanyakan sistem pengawasan hakim pengadilan pajak oleh pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Peradilan pajak memang secara teknis di MA, tapi administrasinya ada di Kemenkeu. Pihak Kemenkeu mengusulkan kepada MA soal penunjukkan hakim, kemudian pihak MA yang akan mengesahkannya.
Namun, Harifin memaparkan, pengawasan yang dilakukan MA tidak bisa dilakukan pada pengadilan pajak mengingat dalam UUD 1945 sudah menyebutkan hanya ada empat jenis peradilan, yakni, umum, tata usaha negara (TUN), militer, dan agama. Sedangkan lembaga pengadilan yang ingin masuk dalam pengawasan MA, harus masuk pula ke dalam lingkungan dari empat jenis peradilan tersebut. Karena itu, harus ada regulasi perubahan pengadilan pajak.
© Copyright 2024, All Rights Reserved