Hari ini, Kamis (09/06), terdakwa Muhammad Nazaruddin akan menghadapi vonis dalam perkara korupsi dan pencucian uang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam sidang sebelumnya, jaksa dari KPK mengajukan tuntutan 7 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan harta kekayaannya mencapai Rp 600 miliar dirampas untuk negara.
Pada sidang pekan lalu, mantan bendahara Partai Demokrat ini telah membacakan pembelaannya. Ia berkukuh tidak semua kekayaannya yang disita KPK bersumber dari kejahatan. Dia meminta majelis hakim yang diketuai Ibnu Basuki Widodo, membuka sebagian pemblokiran aset, khususnya terhadap harta yang diperoleh sebelum dirinya menjabat sebagai anggota DPR periode 2009-2014.
Ada pun harta-harta Nazaruddin yang disita KPK antara lain berupa kebun sawit dan bangunan seluas 2.500 hektare di Riau, saham di Krakatau Steel atas nama istrinya, Neneng Sri Wahyuni, tanah di Jl Wijaya, Kebayoran Baru, Jaksel yang juga atas nama Neneng Sri Wahyuni.
Kemudian tanah dan bangunan di Jl Jend Sudirman, Pekanbaru, Riau, Saham di PT Gudang Garam Tbk atas nama PT Pacific Putra Metropolitan, dan polis asuransi AXA Mandiri.
Nazaruddin beralasan, harta-harta tersebut diperoleh dari pengembangan hasil warisan dan usaha. Dirinya selain meminta divonis dari setengah atau dua per tiga tuntutan pidana jaksa juga berharap asetnya yang didapat sebelum menjabat anggota DPR dikembalikan.
Sementara pihak KPK menolak membuka blokir atau penyitaan aset Nazaruddin karena hal itu merupakan alat bukti yang memperkuat dakwaan pencucian uang. Jaksa KPK menyatakan, Nazaruddin terbukti menerima suap yang didapat dari Nindya Karya, Duta Graha Indah, serta Adhi Karya setelah dibantu mendapatkan proyek-proyek pemerintah dengan menyamarkannya melalui nama perusahaan-perusahaan dalam Permai Grup atau menyamarkannya dengan mengatasnamakan pihak lain.
Aset-aset yang dimiliki antara lain saham sejumlah perusahaan, seperti saham PT Garuda Indonesia Tbk sebesar Rp 300,8 miliar dan saham sejumlah perusahaan lainnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved