Perekonomian global tahun 2018 ini diprediksi tumbuh lebih tinggi dari tahun 2017 lalu. Optimisme menyebar meski tak sedikit ada juga kekhawatiran prospek ekonimi pada tahun 2018.
Dalam laporan yang dirilis jelang akhir tahun 2017, Goldman Sachs memprediksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2018 tumbuh 4 persen, lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan tahun 2017 yang sebesar 3,7 persen.
Sementara konsensus analis yang disurvei Bloomberg menyebut, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mencapai 3,6 persen, terpaut tipis dari target pertumbuhan ekonomi di tahun 2017 yang sebesar 3,5 persen.
Goldman, raksasa ekonomi dunia seperti Amerika Serikat (AS) tahun ini bisa mencetak pertumbuhan hingga 2,5 persen, dari proyeksi tahun 2017 yang sebesar 2,2 persen. Demikian juga dengan konsensus Bloomberg yang menebak ekonomi AS tumbuh 2,4 persen.
"Saya pikir pertumbuhan ekonomi akan beralih ke level yang lebih tinggi," kata ekonom senior Wells Fargo, Mark Vitner, seperti dikutip USA Today, Senin (01/01).
Pemangkasan pajak perusahaan AS diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja karena bakal memperoleh kenaikan gaji.
Survei Wolters Kluwer Blue Chip Economic Indicators awal Desember 2017 lalu menunjukkan, rata-rata 52 responden yang terdiri dari para ekonom memprediksi ekonomi AS bisa naik hingga 2,6 persen. Angka itu mendekati prediksi Presiden Donald Trump yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen.
Wolters menyatakan, faktor pendorong ekonomi AS salah satunya adalah belanja konsumen yang terus meningkat. Sekadar catatan, survei ini dilakukan sebelum Kongres AS mengesahkan beleid pemotongan pajak. Jika asumsi pemangkasan pajak dimasukkan, Wolters menyebut target pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi lagi, mengingat daya beli pekerja berpotensi semakin meningkat.
Di belahan dunia lainnya, negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia, China, justru menghadapi tahun yang penuh tantangan. Seperti diberitakan Bloomberg, Senin (01/01), pemimpin China menyebut tahun ini sebagai "critical battles"(pertempuran kritis). Banyak persoalan yang dihadapi China tahun ini. Salah satunya adalah pengendalian utang dalam negeri.
Kepala Ekonom IHS Markit untuk Asia Pasifik Rajiv Biswas, menyebut hal ini sebagai ketidakseimbangan ekonomi yang signifikan dan menciptakan risiko penurunan terhadap prospek tahun 2018.
"Risiko ekonomi China, akan tetap menjadi risiko utama terhadap prospek pertumbuhan global. Asia Pasifik akan sangat rentan terdampak efek kejut dari perlambatan ekonomi China," tutur Biswas seperti dikutip Bloomberg.
Goldman pun sejak awal memprediksi pertumbuhan ekonomi China tahun 2018 turun menjadi 6,5 persen dari proyeksi pertumbuhan tahun 2017 yang sebesar 6,8 persen. Penurunan itu akan berlanjut di tahun 2019, dengan target pertumbuhan dari Goldman sebesar 6,1 persen.
Rasio utang China, pada tahun 2022 mendatang diprediksi mencapai 320 persen terhadap produk domestik bruto.
George Magnus, ekonom Universitas Oxford dan eks penasihat UBS Group AG mengingatkan, jika suku bunga AS naik lebih tinggi dari perkiraan awal, pemangkasan pajak terjadi lebih besar dan ekonomi AS meningkat hingga 3,2 persen, maka arus keluar modal dari China bakal kian memuncak. China yang menghadapi persoalan utang, jelas akan menghadapi persoalan serius dari hal tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved