Pengacara Firman Wijaya menjelaskan hal ikhwal kepemilikan Toyota Harrier kliennya, Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Firman mengatakan, pembelian mobil Harrier itu perdata biasa, tidak ada hubungannya dengan gratifikasi. Anas membeli Harrier itu dari Nazaruddin, bukan menerima gratis.
Penjelasan itu disampaikan Firman dalam jumpa pers di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa sore (19/02). Jumpa pers ini khusus untuk menjelaskan perihal mobil Harier yang kabarnya tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Firman membeberkan kronologi kepemilikan Harrier tersebut. Sebelum pembelian itu terjadi, ada beberapa kali pembicaraan mengenai pembelian mobil Anas. Dari pembicaraan insidental tersebut muncul ide membeli mobil Harrier. Nazaruddin menawarkan untuk menalangi pembelian dan Anas akan mencicil. Untuk menutupi kekurangan pembayaran mobil digunakan cek atas nama PT Pacific Putera Metropolitan.
“Sekitar akhir Agustus 2009, Anas menyerahkan Rp200 juta kepada Nazaruddin dan menjadi uang muka untuk pembelian mobil disaksikan oleh Saan Mustopa, Pasha Ismaya, Nazaruddin, Maymara Pandu,” terang Firman.
Pada 12 September 2009, mobil tersebut diambil dari kantor Nazaruddin oleh staf Anas bernama Nurahmat. Firman menyebut Nurahmat sudah diperiksa KPK. Anas, kata Firman,tidak mengetahui bagaimana detail pembelian mobil tersebut.
Pada Februari 2010, Anas membayar cicilan kedua Rp75 juta kepada Nazarudin. Pembayaran ini juga disaksikan staf ahli Anas, Nurahmat.
Pada akhir Mei 2010, setelah Kongres PD di Bandung, Anas mendapat pertanyaan dari rekan sejawat yang mendengar kabar Harrier tersebut merupakan pemberian Nazaruddin kepadanya.
Anas kemudian memutuskan untuk mengembalikan mobil itu kepada Nazaruddin. “Saat itu Nazaruddin menolak dengan alasan rumahnya sudah penuh dengan mobil dan tidak ada tempat lagi. Nazar meminta mobil dijual dan dikembalikan mentahnya," terang Firman.
Pada Juli 2010, Anas menyuruh Nurahmat menjual Harrier. Mobil itu kemudian dijual di showroom di Kemayoran seharga Rp500 juta. Showroom mentransfer ke rekening Nurahmat pada Juli 2010 dan selanjutnya Nurahmat mencairkannya pada 13 Juli 2010.
“Anas meminta Nurahmat menyerahkan uang kepada Nazaruddin. Selanjutnya disepakati bertemu Nazar di Plaza Senayan pada 17 Juli 2010. Ada buktinya di SMS dan CDR. Nurahmat pergi bersama Yadi dan Adromi, membawa uang Rp500 juta," jelas Firman.
Tiba di Plaza Senayan, Nazaruddin memberi kabar bahwa dirinya tidak bisa datang. Nazaruddin mengatakan akan mengirim ajudannya bernama Iwan mengambil uang tersebut.
“Ketiganya bertemu di food court lantai 3. Uang diserahkan kepada Iwan, kemudian Nurahmat menanyakan melalui SMS kepada Nazaruddin dan dijawab uang tersebut sudah diterima. Atas inisiatif Nurahmat dibuat tanda terima yang ditandatangani Iwan,” urai Firman.
Masih di bulan Juli, keesokan harinya setelah pertemuan di Plaza Senayan, untuk memastikan soal serah terima uang itu, Nurahmat mengirim SMS kepada Nazaruddin, apakah Nazaruddin sudah menerima uang. “Pada Juli 2010, Anas mundur dari DPR.”
Kata Firman, dengan penjelasan itu dapat disimpulkan kepemilikan Harrier adalah transaksi jual beli biasa. Sebagai pembeli Anas menunjukkan itikad baik dengan membayar uang muka dan mengangsur sesuai kesepakatan. Bahkan seharusnya Nazar memberikan kelebihan uang kepada Pak Anas karena pembelian Rp670 juta, total transfer Pak Anas Rp775 juta," tandas Firman.
© Copyright 2024, All Rights Reserved