Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di Kota Jayapura, bersama tokoh masyarakat, agama, adat dan perempuan, serta gereja melakukan aksi demo di Kantor DPRD Papua, Senin (10/2). Mereka berunjuk rasa menolak Inpres No 1/2003 tentang Percepatan Pemekaran Papua yang diwujudkan dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, pekan lalu.
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani para ketua senat perguruan tinggi swasta dan negeri, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh perempuan itu, mereka menuntut Presiden Megawati Soekarnoputri segera mencabut sekaligus membatalkan Inpres itu. Polres Jayapura menurunkan satu SSK pasu-kan Brimob dan Polres Jayapura untuk melakukan pengamanan secara terbuka.
Dalam unjuk rasa itu mahasiswa dan masyarakat Papua juga mendesak Mahkamah Agung untuk segera melakukan judicial review dan menanggapi gugatan class action atas pemberlakuan Inpres itu. Mereka juga mendesak DPR membahas khusus soal ini untuk membatalkan Inpres itu dengan berpatokan pada keputusan DPRD Provinsi Papua No 11/1999 tentang Penolakan Pemekaran Provinsi Papua yang masih berlaku hingga kini.
Mereka berharap DPR meminta pertanggungjawaban Presiden terhadap Inpres tersebut. Pemerintah juga diharapkan mencabut UU No 45/1999, khususnya Pasal 14 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah dan Barat. Mereka mengancam akan menduduki kantor DPRD Papua jika permintaan itu tidak diperhatikan.
Ribuan warga ini juga menggelar sejumlah poster dan pamflet di antaranya bertuliskan, "Rakyat dan mahasiswa Papua menolak mentah-mentah Inpres No 21/2003 tentang Pemekaran", "Inpres No 1/2003 Cacat Hukum dan Tidak Beralasan", "Megawati dan Atururi Bikin Kebijakan yang Keliru".
Seperti dilansir Suara Pembaruan, dalam pernyataan sikap itu mahasiswa dan masyarakat Papua juga mendesak DPRD Provinsi Papua untuk segera menghadirkan Presiden Megawati, DPR, dan MPR untuk berdialog langsung dengan seluruh masyarakat Papua. Khususnya membahas UU No 21/2001 dan Inpres No 1/2003.
Dalam diskusi terbatas bertajuk "Inpres No 1/2003 tentang Percepatan Pemekaran Papua dan Implikasi Ekonomi dan Moralnya", di Jakarta, Minggu (9/2), pemekaran Papua menjadi tiga provinsi bertentangan dengan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Selain itu juga tidak bermanfaat bagi rakyat Papua. Pemekaran kecamatan-kecamatan di daerah itu akan lebih bermanfaat daripada pemekaran provinsi.
Diskusi diselenggarakan Forum Sabang Merauke (Forsam) ini menghadirkan pembicara Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan (STIIP) Andy Ramsez Marpaung, Dosen Universitas Negeri Papua Agust Sumule, Dosen Universitas Cenderawasih Ferry Kareth dan anggota DPR Simon Patrice Morin.
Kebijakan pemekaran provinsi melalui Inpres No 1/2003 itu hanya akan menguntungkan pejabat birokrat. Pemekaran itu hanya akan mengalihkan dana yang mestinya untuk rakyat dan pembangunan daerah, disedot pejabat birokrat dengan segala urusan tetek bengek-nya.
Hasil sebuah penelitian, kata Andy Marpaung, jika pemekaran provinsi itu dilakukan 86 persen penggunaan anggaran akan disedot oleh birokrasi. Karena itu logika pemerintah bahwa pemekaran provinsi itu akan memandirikan rakyat justru tidak tercapai.
"Kalau mau Papua berkembang dan mengalami perubahan, mekarkan wilayah kecamatan-kecamatan dan desa sehingga dana terutama dana Otsus bisa mengalir ke kecamatan dan desa. Itu pasti akan membawa perubahan besar di tingkat bawah," tegas Marpaung.
Senada dengan itu, anggota Tim Aistensi UU Otsus Papua Agus Sumule menegaskan, Inpres No 1/2003 jelas bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Sebab, dasar terbitnya Inpres itu adalah UU No 45/1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya yang secara yuridis tidak berlaku lagi dengan terbitnya UU No 21/2001 tentang Otsus Papua.
Dalam Pasal 76 UU No 21/2001 disebutkan, pemekaran hanya mungkin dilakukan setelah disetujui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). "Jadi pemekaran sesuai Inpres No 1/2003 itu tidak mempunyai dasar hukum, apalagi MRP sampai sekarang belum terbentuk," tegasnya.
Berkaitan dengan itu, anggota DPR asal Papua Simon Patrice Morin mengungkapkan, sejumlah anggota DPR akan memprakarsai pengumpulan tanda tangan penolakan Inpres tersebut. Tanda tangan penolakan itu akan disampaikan dalam rapat paripurna DPR Selasa (18/2) pekan depan.
"Inpres No 1/2003 menunjukkan bahwa negara ini tidak jelas aturan hukumnya. Bukan tidak mungkin, Presiden juga akan menerbitkan Inpres untuk Aceh hanya untuk memotong UU Otsus di daerah itu," kata Morin mengingatkan.
Dosen Universitas Cenderawasih Ferry Kareth juga menilai pemerintah menerapkan standa ganda kepada rakyat Papua. Buktinya, di satu sisi pemerintah menerapkan Otsus yang semangatnya untuk mengatur diri sendiri, tetapi di sisi lain tidak memberikan kekebasan untuk mengurus diri sendiri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved