Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak hingga kini semakin marak. Tingginya kasus tersebut diharapkan seluruh stakeholder pembangunan mau berpartisipasi dalam memberdayakan lembaga-lembaga sosial yang konsen terhadap gender dan kesejahteraan anak.
Demikian diungkapkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar kepada politikindonesia.com, seusai membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), di Jakarta, Jumat (28/06).
Menurut Linda, berdasarkan data korban kekerasan dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dari seluruh unit layanan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, menunjukan adanya fluktuasi jumlah kasus kekerasan.
"Meskipun upaya penangganan terus dilakukan, tapi kasus kekerasan ini masih saja terus terjadi. Jika pada tahun 2010 kasus yang dilaporkan sebanyak 15.648 kasus, maka pada tahun 2011 sebanyak 11.089 kasus dan pada tahun 2012 ada 18.718 kasus," ungkapnya.
Dijelaskan, fluktuasi jumlah kasus kekerasan ini perlu diwaspadai dan dicari penyebabnya. Di antaranya, apakah karena masih belum optimalnya penerepan sistem pencatatan dan pelaporan atau aparat dilapangan masih belum seluruhnya melaporkan. Selain itu, mungkin memang terjadi keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus yang dialaminya dan mungkin di wilayah mereka belum ada lembaga yang menyediakan pelayanan bagi mereka.
"Saat ini P2TP2A yang ada sejak tahun 2002 sudah dibentuk di 29 provinsi, dan 242 kabupaten/kota. Setidaknya setiap provinsi memiliki 1 P2TP2A agar masalah perempuan dan anak di seluruh wilayah di Indonesia bisa tertanggani. Jadi masih ada 4 provinsi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Papua, Papua Barat) dan 260 kabupaten/kota yang belum memiliki P2TP2A," paparnya.
Diungkapkan, dari data jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tidak terjadi tren yang perubahan yang signifikan dari karakteristik korban kekerasan dari tahun ke tahun. Misalnya data tahun 2012 menunjukkan korban kekerasan terbanyak adalah perempuan sebanyak 86 persen, anak-anak ada 35 persen. Sedangkan, usia di atas 25 tahun atau perempuan dewasa ada 46 persen, tingkat pendidikan SMA 35 persen, status tidak bekerja 63 persen dan berstatus kawin sebanyak 55 persen.
"Dari jumlah itu sebagian besar berupa kekerasan fisik ada sekitar 47 persen dan tempat terjadinya terbesar di dalam rumah tangga sebanyak 45 persen," ucapnya.
Diakuinya, adanya peningkayan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak karena peran P2TP2A selama ini belum optimal. Kendalanya di anggaran, karena itu perlu dukungan dari pemerintah daerah. Perlu juga mencari dukungan dari masyarakat maupun swasta yang memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR).
"Sehingga perlu direvitalisasi kembali. Selain melakukan upaya penanganan terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, P2TP2A juga seharusnya melakukan pemberdayaan dan menggalang kerja sama dengan berbagai pihak," tuturnya.
Linda menambahkan, dibutuhkan Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum bagi upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah. Dengan adanya Perda, upaya penanganan kekerasan bisa masuk dalam program yang wajib dilaksanakan, termasuk dalam hal pendanaan oleh pemda.
"Sayangnya, dari total kabupaten/kota yang ada di Indonesia baru 50 persen lebih yang memiliki Perda penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Makanya, kami secara aktif terus melakukan koordinasi dan berjejaring secara kuat dengan seluruh mitra kerja, baik di tingkat nasional maupun pemerintah daerah asal korban. Salah satunya, melalui Rakornas P2TP2A 2013 ini," jelasnya.
Linda mengatakan permasalahan perempuan dan anak-anak merupakan isu strategis yang harus menjadi perhatian bersama. Karena perempuan dan anak-anak juga memiliki hak untuk hidup dengan aman dan terlindung dari kekerasan, serta diskriminasi.
“Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut upaya pencerdasan dan penyadaran masyarakat mengenai pentingnya penghargaan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak harus menjadi langkah penting sebagai modal utama dalam membangun persepsi yang tepat mengenai potensi kodrati perempuan dan anak-anak sebagai sumberdaya pembangunan yang potensial,” tegas Linda.
© Copyright 2024, All Rights Reserved