Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2017 berada pada skor 37 dari angka tertinggi 100. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT), tapi ternyata cukup menaikkan IPK Indonesia.
“Angka 37 itu tidak beranjak, itu menunjukkan OTT saja tidak cukup," terang Wakil Ketua KPK Saut Situmorang kepada pers di Jakarta, Jumat (23/02).
Dikatakan Saut, skor 37 yang didapat Indonesia merupakan hasil penilaian Transperancy International Indonesia (TII) terhadap kinerja berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, KPK meminta semua pihak yang terkait dalam penilaian utnuk mengubah kebiasaan buruk seperti perilaku korup.
“Karena aparat yang dinilai oleh badan-badan ini kompleks, seperti pemerintah pusat, daerah, politik, PNS, pajak, cukai, keamanan, hukum, Polri, TNI, hakim, jaksa, dana publik. Semua dinilai baik rekruitmen pegawai, penegakkan hukum, politik dan demokrasi, jadi mari kita berubah sekarang," ujarnya.
Saut menyarankan, pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi sehingga UU itu bisa menjerat korupsi yang terjadi di sektor swasta. Pemerintah juga harus membuat sistem pengkajian pada lingkungan kerja yang berisiko tinggi, seperi hakim, Polri, TNI, kejaksaan, otoritas pajak, Bea Cukai, serta inspektorat lain.
Dikatakan Saut, sejak Indonesia merdeka, negara tidak pernah serius membentuk karakter rakyatnya. Saut menyebut, negara bertanggung jawab soal integritas, khususnya dalam penegakan hukum yang memberi efek jera kepada pelaku.
Untuk soal moral dan perilaku, itu tanggung jawab orangtua, guru, dan lain-lain. "Ketika dua pemilik ini tidak sinkron, maka integritas kita semua berpotensi terganggu," tandas Saut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved