Perdebatan mengenai siapa yang membiayai operasionalisasi rencana pembentukan otoritas jasa keuangan (OJK) mendekati finis. Pemerintah memutuskan pembiayaannya sementara dari APBN, yang dipersiapkan untuk waktu dua tahun. Setelah itu, pembiayaan diambilalih oleh iuran yang dikumpulkan dari industri.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan hal itu kepada pers, di kantornya, Jakarta, Selasa (06/07).
Agus Martowardojo mengatakan, persiapan dana ini perlu karena dalam masa pembentukan OJK belum memiliki dana operasional. Tetapi, hal itu tergantung hasil pembahasan RUU yang sudah diajukan ke DPR.
Pemerintah dan DPR terus berusaha memfinalisasi OJK. Kalau disetujui, dua tahun pertama dana APBN akan dikucurkan. Tapi berapa besarnya, mantan Dirut Bank Mandiri itu mengaku belum tahu.
"Ya, sekarang belum jelas, karena masih pembahasan. Tetapi, setelah berjalan, industri harus mendukung kelanjutan dari kegiatan OJK itu," kata Agus Martowardojo.
Industri keuangan diminta mendukung OJK. Karena, lembaga itulah nantinya yang menjadi organ regulator bagi pengawasan industri perbankan, asuransi, maupun dana pensiun. Tidak ada alasan untuk menolak, karena itu termasuk perintah undang-undang.
Iuran Industri
Kementerian Keuangan tidak berkeberatan dengan usulan iuran dana dari industri keuangan untuk OJK, seandainya lembaga pengawas ini jadi terbentuk. Iuran diperlukan untuk membiayai operasional pegawai atau pejabat di OJK.
"Komponen paling besar itu untuk keuangan, operasionalisasi sistem dan SDM-nya," kata Agus Martowardojo.
Agus mengibaratkan operasional itu seperti berjalannya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi kewartawanan yang dibentuk setelah era reformasi. Sebagai perkumpulan para wartawan, dana hasil pengumpulan dari para wartawan diperlukan untuk pembinaan SDM. Termasuk untuk kebutuhan mendadak kalau seandainya ada musibah, dan operasional sistem.
Sebelumnya, Kepala Bapepam LK Fuad Rahmany mengatakan Lembaga pengawas sektor keuangan yang diusulkan dalam RUU OJK nantinya tidak akan beroperasi dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Fuad, lembaga ini akan menggunakan dana yang ditarik dari industri keuangan untuk operasionalnya.
Kepada wartawan yang menemuinya di Hotel Aston Marina, belum lama ini, Fuad menjelaskan, ongkos atau fee yang ditarik dari industri sangat kecil. Kisarannya antara 0,02 - 0,05 persen. Karena itu, ia menganggap tidak ada alasan untuk menolak.
Tetapi, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sudah menolak ketentuan dalam RUU OJK yang memuat soal iuran (fee) yang harus dibayar industri keuangan kepada lembaga pengawas itu, nanti. Meski mengakui OJK ide bagus, tetapi Direktur Eksekutif AAJI Stephen B Djuwono di sela konferensi pers Penyelenggaraan Top Agent Award AAJI 2010 di Jakarta, Selasa, menganggap fee itu akan mengurangi independensi.
Menurut Stephen, OJK yang terbentuk sebagai satu badan independen, akan terganggu dengan pemungutan fee itu. Jika diputuskan industri harus bayar iuran, perlu dikaji ulang agar independensinya tetap terjaga.
Ketentuan iuran ada pada Pasal 30 RUU OJK. Intinya, OJK dalam rangka membiayai kegiatannya, menetapkan dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, jenis biaya yang dapat ditetapkan, antara lain berupa perizinan, pendaftaran, pengesahan, pegawasan, pemeriksaan, penelitian, transaksi, dan perdagangan efek. Biaya tersebut ditagih secara bulanan dan tahunan, sesuai karakteristik biaya yang dimaksud.
Bagi Stephen, idealnya sebuah lembaga regulator hanya mengambil peran sebagai pengawas. Untukl peran teknis seperti pendaftaran, pengeluaran perijinan produk dan sebagainya, lebih tepat di tangan asosiasi yang independen.
“Di Jepang yang industri asuransinya sudah maju, asosiasi dibangun sangat independen dan ditangani orang-orang andal dan professional, tidak terkait industri seperti di AAJI,” katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved