Setelah berbulan-bulan menjerit akibat anjloknya harga gula di dalam negeri, mulai muncul beberapa perubahan kebijakan untuk melindungi petani tebu. Instrumen yang dipakai adalah tarif Bea Masuk (BM) impor sehingga harga gula impor dinaikkan mencapai Rp 700 per kg hingga Rp 950 per kg.
Sebelumnya, BM gula impor hanya dikenakan sebesar 25 persen dari harga gula per kilogram (harga gula internasional sekitar 200 dollar per ton, red).
Sedangkan untuk gula mentah {(raw sugar)}, kata Menteri Perindnstrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi akan dikenakan sebesar Rp 550 per kg.
Penerapan tarif gula dari sistem presentase antara 20 sampai 25 persen menjadi tarif spesifik agar terhimpun dana yang dapat digunakan untuk memberikan subsidi langsung kepada petani tebu dalam meningkatkan kinerja produksi dan mutu.
Adapun subsidi yang disalurkan melalui beberapa program tersebut mencapai Rp 500 per kg. Jika BM spesifik ini diterapkan maka dana yang bisa dihimpun mencapai sekitar Rp 900 miliar mengingat impor gula setiap tahunnya mencapai sebesar 1,5 juta ton.
Kendati informasi BM gula impor tersebut masih belum dipastikan mengingat belum diputuskan Tim Tarif Departemen Keuangan namun besaran tersebut sebenarnya masih dinilai belum optimal untuk melindungi harga dula di dalam negeri.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) PTPN XI Arum Sabil, dengan BM Rp 1.200 per kg saja maka harga gula impor di pasaran (dengan asumsi 1 dollar=Rp 8.500, red) baru mencapai Rp 3.500 per kg. Harga tersebut sama dengan biaya produksi ditambah keuntungan petani.
Pemerintah rupanya agak hati-hati menentukan tarif BM tersebut yang tinggi dengan mempertimbangkan batas toleransi dari Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) dan kemampuan konsumen serta memancing penyelundupan semakin tinggi karena perbedaan harga yang terlalu besar.
Tetapi langkah tersebut mau tidak mau harus ditempuh jika pemerintah tidak petani tebu semakin radikal dan menutup sejumlah perkebunan tebu sehingga terjadi alih profesi.
Dalam beberapa kesempatan komitmen pemerintah sebenarnya masih kabur akibat kontroversi antara kepentingan petani dan konsumen dan pengusaha. Departemen Pertanian (Deptan) menginginkan BM yang tinggi namun Depperindag mempunyai pandangan yang lain.
Padahal, gula merupakan komoditi perdagangan internasional yang paling tidak fair. Sejumlah negara-negara maju justru memberikan perlindungan kepada petani tebu dengan subsidi yang besar.
Sebagian produksi pun dilempar ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dengan memberikan kemudahan bagi importir untuk mengimpor gula agar harga tetap stabil.
Dalam jangka panjang barang-barang impor yang disubsidi oleh negara maju akan membuat petani tebu dalam negeri tidak mampu meningkatkan produktivitasnya.
Rupanya tarikan kepentingan tesebut masih berbuntut panjang karena kepentingan negara-negara maju yang hanya mengamankan pertanian dan pangan mereka.
"Langkah pemerintah masih terlalu hati-hati untuk melindungi petani kita. Padahal untuk gula masih ada batas toleransi tarif BM yang justru dimanfaatkan negara-negara lain. Mengapa pemerintah kok tidak mengambil batas tarif yang optimal," tanya Wakil Ketua Komsisi III Imam Churmen.
Mungkinkah dengan tarif yang tinggi akan melindungi petani tebu dan harga gula di dalam negeri? Berbagai pihak justru masih menyangsikannya, baik dari kalangan petani sendiri maupun Mentan Bungaran Saragih. Justru kenaikan tarif harus diimbangi oleh para petani dan pengusaha dengan peningkatan produktivitas.
"Tak ada gunanya buat tarif yang tinggi kalau dengan tarif yang sekarang saja masih banyak penyelundupan," katanya.
Pada titik inilah justru hukum dan pasar yang adil harus ditegakkan. Kalaupun tarif dan mekanisme lain sudah ditempuh seharusnya polisi dan petugas Bea Cukai harus mampu menegakkan ketentuan yang ada. Tidak akan pernah terjadi harga gula yang bagus jika ribuan ton gula masih diselundupkan melalui pelabuhan-pelabuhan seperti yang terjadi di Kepulauan Riau.
Tidak heran jika para petani pun terjun langsung untuk merazia gula-gula selundupan tersebut. Semakin pemerintah tidak tegas justru radikalisasi akan semakin meningkat di kalangan petani. Bukan tidak mungkin, suatu saat para petani akan langsung berhadapan dengan kolusi aparat polisi dan importir ilegal.
Belum lagi, gula mentah yang seharusnya diproses terlebih dahulu justru sudah beredar di pasaran untuk dikonsumsi. Deptan bahkan mensinyalir gula mentah tersebut sudah beredar bebas di tingkat pedagang eceran. Selain berbahaya bagi kesehatan, beredarnya gula mentah tersebut justru mempengaruhi harga gula di pasaran.
© Copyright 2024, All Rights Reserved