Seperti diduga sebelumnya, Komisi I DPR RI akhirnya menyetujui Jenderal Endriartono Sutarto untuk diangkat sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana Widodo AS sebagaimana diusulkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Endriartono dinilai memiliki sifat profesional sebagai prajurit dan terpenting komitmen terhadap TNI dalam mendorong demokratisasi dan HAM.
Dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR, Rabu (22/05/2002) paparan yang disampaikan Endriartono dalam konteks {fit and propert test} dianggap positif sehingga layak menduduki jabatan Panglima TNI. Untuk memuluskan pencalonan, DPR akan segera mengirim surat kepada Presiden Megawati sebagai jawaban surat pencalonan Endriartono sebagai Panglima TNI.
Endriartono Sutarto, sebagai calon satu-satunya yang diajukan Presiden kepada DPR, menyampaikan paparan setebal 20 halaman berjudul "Membangun Profesionalisme, Mengembalikan Jati Diri TNI sebagai Alat Pertahanan Negara". Setelah itu ia menjawab pertanyaan yang diajukan 28 anggota Komisi I.
Dihadapan anggota Dewan, Endriartono menegaskan bahwa TNI tidak akan menjadi alat kekuasaan dan tidak partisan pada suatu kekuatan politik tertentu atau kelompok tertentu. TNI harus dapat memelihara posisi dirinya secara tepat, sebagai alat negara di bidang pertahanan. "TNI akan berada pada posisi bersikap netral pada kehidupan politik, tidak boleh terjebak atau melibatkan diri masuk dalam wilayah politik praktis," kata Endriartono. Hal ini pun secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 5 Ayat 2 Ketetapan MPR No VII/ MPR/2000.
Mengenai ketetapan bahwa TNI hanya akan berada di DPR paling lama sampai tahun 2004 dan di MPR paling lama sampai tahun 2009, Endriartono mengatakan akan konsisten dengan keputusan tersebut. "Namun demikian, kalau kemudian ada keputusan bahwa TNI harus keluar besok, kami akan keluar," ucapnya.
Dalam rencana kerja yang diprioritaskan Endriartono antara lain disebutkan akan mempertegas dan memperjelas hubungan TNI dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Menurut Endriartono, dalam menyelesaikan berbagai persoalan keamanan, TNI sering dihadapkan pada dilema antara kebutuhan nyata dengan kewenangan. Sejauh ini belum ada aturan main dan hubungan kerja yang tegas dan jelas antara Polri dan TNI agar setiap dinamika di lapangan dapat disikapi secara cepat, tepat, dan tuntas, serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dengan tidak menimbulkan ekses negatif pada masyarakat atau prajurit pelaksana.
"Sekarang ini kami belum punya pemahaman, apakah kalau Polri meminta bantuan TNI, kami sekadar menyerahkan sejumlah personel sesuai yang diminta. Lalu kemudian mereka harus memakai pentungan dan sempritan dalam membantu Polri. Ataukah kami bisa mengerahkan kekuatan kami sesuai dengan kekuatan yang kami hadapi. Misalnya, untuk menghadapi kekuatan bersenjata, tentu kita tidak bisa hanya pakai tongkat dan tameng, akan tetapi dibutuhkan suatu kekuatan pasukan yang terlatih dan dilengkapi persenjataan sesuai dengan ancaman yang dihadapi," paparnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Ibrahim Ambong menilai Endriartono memiliki pengetahuan cukup, memenuhi UU nomor 23/2000 tentang pencalonan Panglima TNI. "Endriartono juga memiliki sifat profesional sebagai prajurit. Yang terpenting komitmen terhadap TNI, mendorong demokratisasi dan HAM," katanya. "Endriartono baik dalam berkomunikasi," katanya lagi.
Seluruh fraksi di DPR, terutama anggota Komisi I, berharap Endriartono mampu menjaga visi dan misi serta komitmen yang disampaikan di depan anggota dewan. "Kalau nyeleweng akan kita tegur," tegas Ambong.
© Copyright 2024, All Rights Reserved