Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Muhammad Lutfie punya pandangan tentang pertumbuhan dan peluang bisnis di tahun 2003. Kepada Pilarbisnis dan politikindonesia.com, Lutfi menilai, peluang bisnis 2003 memang semakin sulit. Ditengah situasi dimana pihak asing sudah tidak percaya lagi. “Siapa yang mau invest disini, indeks konsumsi turun, siapa yang mau jualan disini. Terus ditimpa isu terorisme Bali,” tandasnya. Berikut petikannya:
{Bagaimana perjalanan dunia bisnis nasional sepanjang 2002 dan peluang pertumbuhan bisnis pada 2003 mendatang?}
Kalau saya melihatnya begini, secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya tumbuh lima persen pertahun, pada tahun ini. Tapi kenyataannya mungkin empat persen saja tidak. Tapi populasi itu menggelembungkan nilai pertumbuhan. Jadi mungkin nilai pertumbuhan murninya itu sekitar 1 – 2 persen.
Jika kita lihat {letter of intent} tahun 1998, mereka menyatakan bahwa asumsinya, kita bisa membayar hutang kalau pertumbuhan ekonomi nasional kita sekitar tujuh persen, untuk bisa membayar utang yang besarnya kira-kira Rp 1.440 triliun. Untuk mencapai pertumbuhan tujuh persen setahun musti ada foreign direct investment sekitar 5 miliar US dolar per tahun, selama 5 tahun. Jadi kita bisa melihat bahwa sebenarnya target antara kita jauh dari cukup. Dari situ kita bisa melihat beberapa indikator, ini yang sangat merisaukan.
Melihat perjalanan dunia usaha tahun 2002, dunia bisnis tidak lebih bagus dibanding 2001. Karena kalau kita melihat tahun 2001, ekspor kita bagus, dan sekarang konsumsi impor kita turun. Karena kita melihat dari yang sifatnya makro, jadi ekspor kita menurun.
Kedua, mungkin yang menyebabkan kita tidak kualified adalah soal ketenaga kerjaan yang tidak pernah selesai. Saya sangat prihatin soal ini, dimana kita butuh investasi asing masuk tapi karena soal ini tak pernah selesai, akhirnya malah banyak investasi asing keluar. Kemudian beberapa indikator yang merisaukan adalah menurunnya tingkat konsumsi. Saya melihat out-put dan input ekonomi itu seperti orang sakit diare, kebanyakan bahaya, itukan flotoar, tapi kalau kurang lebih bahaya, itu deflasi. Tapi permasalahan pokoknya, sewaktu yang keluar itu bukan lagi cairan tapi hanya tinggal angin. Ini yang saya lihat sekarang, konsumsi itu hanya tinggal angin.
Jadi waktu kemarin turun, nilai ekspor dan indikator lain, ada beberapa indeks yang masih naik. Misalnya otomotif masih naik, masih dobel digit, industri makanan masih double digit, lalu beberapa industri jasa masih tumbuh. Nah kalau konsumsi udah menurun ini bahaya. Kenapa konsumsi bisa naik? karena bank sudah mulai menyalurkan kredit, kreditnya kredit konsumtif.
Yang kedua, ini yang perlu diperhatikan pemerintah secara makro, surat kabar beberapa hari lalu menyatakan peringkat Indonesia turun, dihitung dari makro dan mikro ekonomi. Makro melihat kesiapan infrastruktur Indonesia untuk menunjang pembangunan. Secara mikro, apakah kita siap untuk menghasilkan output yang baik agar perekonomian kita tumbuh. Kejadiannya sekarang, level Indonesia malah turun dari peringkat 55 di dunia menjadi 65. Kita sudah dibawah Vietnam, dan jauh dibawah negara Asean lainnya. Bahkan negara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand jauh diatas kita. Buat saya ini adalah raport merah untuk kabinet gotong royong. Artinya ada fundamental yang nggak benar.
Kalau melihat peluang bisnis 2003, ada indikator menunjukan asing sudah tidak percaya lagi kepada kita. Sudah tidak percaya adanya suistanability. Siapa yang mau invest disini, indeks konsumsi turun, siapa yang mau jualan disini. Terus ditimpa isu terorisme Bali. Itu sebenarnya suatu tamparan di muka kita yang luar biasa efeknya.
{Di 2001 sebenarnya tren ekonomi nasional sudah membaik dan ekspor meningkat. Lantas kenapa di 2002 justru kembali terpuruk?}
Waktu tahun 2001, itu bagus karena banyak faktor. Pertama minyak kita masih belum harga pasar, telepon kita belum harga pasar, listrik kita belum harga pasar, kemudian orang masih belum mengambil keuntungan dari kompetitifitas kita dari nilai foreign exchange, ya kan. Karena rupiah kita lagi menurun saat itu, jadi memang kita bisa mengadaptasi dan bisa menggolkan dengan baik. Tapi permasalahannya, setelah itukan dia ketemu equilibriumnya, titik simpulnya, suplai and demand. Nah begitu itu bertemu berarti kita musti bersaing dengan negera lain. Nah ini yang menjadi permasalahan pada tahun 2001.
Tetapi permasalahannya, yang dipentingkan oleh semua pelaku usaha adalah cetak biru pemerintah. Cetak biru pemulihan ekonomi nasional ini kan merupakan tugas utama pemerintah. Untuk apa sekarang kita musti jalan. Jadi kalau dulu 2001 bisa tumbuh, iya memang nilainya lagi rendah-rendahnya semua, tapi kesinambungan kedepannya itu nggak ada. Kita mau mengerjakan apa. Sekarang kalau kita melihat masalah tekstil, kita inikan salah satu negara terkuat dibidang tekstil, kok tiba-tiba bisa kalah sama tekstil Cina. Inikan pertanda ada sesuatu fundamental yang tidak benar. Nah tetapi apa yang dikerjakan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, sampai hari ini kita belum punya cetak biru beliau tentang industri tekstil, nggak ada, sama sekalli nggak ada.
Jadi yang kita perlu sebenarnya sekarang satu, kita bukan pengemis jadi nggak perlu proyek-proyek. Kita ini siap berkompetisi, nah yang kita perlu dari pemerintah adalah cetak biru. Misalnya begini, ini mau dikasih stimulus, Rp 19 triliun Ok, bagus. Tapi sekarang itu buat apa, siapa yang akan merasakan stimulus itu, pengusaha, BUMN, pemerintah, rakyat, siapa?, itu harus jelas. Sektornya yang mana? Kan musti ada dong, sektor unggulan kita
{Bagaimana seharusnya langkah pemerintah agar dana stimulus yang akan dikucurkan itu bisa bermanfaat?}
Ada beberapa rekaan nih. Saya mungkin mau balik sedikit. Stimulus is so stimulus, tapi kita punya dua opsi sekarang. Pertama pendekatan kita persis seperti waktu kita sama IMF dulu. Iyakan. Dia datang, dia bantu, dfia buster perekonomian kita supaya dipercaya oleh orang asing, supaya datang investasi yang jumlahnya kira-kira 25-35 miliar dolar, kemudian pertumbuhan itu 7 persen. Iyakan. Setelah empat tahun, kan gagal nih, nggak ada hasilnya. Target yang segitu gede nggak ada. Terus kita mau bicaranya apa. Apa mau diterusin. Kalau diterusin kan berarti semuanya kita jual. Bank kita dijual, kebun dijual, aset-aset kita semua dijual sampai ke gedung-gedung, untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tapi pilihan yang realistis, kita banting setir. Dan saya merasa bahwa, kalau memang kita sudah bertahun-tahun disini tidak berhasil, musti ada yang bisa bilang dong, kita musti ganti. Kemudian perlu didekati lagi dengan kemandirian ekonomi nasional. Apa sih kemandirian ekonomi nasional, kalau saya sudah punya konsep itu. Tapi biar bagaimana kita itukan harus datang dari atas. Payungnya musti jelas, apa itu kemandirian ekonomi nasional. Kalau saya cuma berpikir begini. Sederhana saja. Kalau seumpama beban utang kita, dipakai untuk pembangunan kita, pasti akan ada yang menghitung kan how bad can it be? Gitu kan. Seberapa jelek sih Indonesia kalau sampai kita menunda pembayaran utang kita. Karena kenapa, tahun 1997 IMF keluar dari Rusia, Yeltsin merasa IMF tidak bisa diandalkan, berarti mereka musti bertahan dengan bersandar pada pengembangan perekonomian nasional, nah ini yang terjadi. Hasilnya, tahun kemarin, Rusia tumbuh lebih dari 20 persen. Kan ini juga perbah kita kerjakan dimasa lalu. Nah sekarang tinggal ada nggak yang bisa bilang bahwa arah pendekatan pembangunan ekonomi kita. Anda bisa bayangkan, berapa sih Rp 15 triliun. Kewajiban kita yang musti kita bayar tahun ini itu sebesar 130 triliun. APBN kita itu nggak sampai 290 triliun. 130 triliun kita pakai untuk pembayaran obligasi dalam dan luar negeri. Tahun 2003 akan lebih besar dan 2004 akan jauh lebih besar lagi daripada itu.
Artinya apa? Ini seperti kita punya kredit card, kita punya utang kredit card. Gaji lima juta, dua juta kita pakai untuk bayar utang kredit card. Anak bisa terganggu sekolahnya, keluarga bisa nggak makan. Masa Anda mau mengutamakan bayar kredit card daripada memberi makan anak dan istri, cuma agar dipercaya sama bank. Inikan nggak logis.
Jadi balik lagi ke stimulus itu. Saya rasa baru akan bisa membantu kalau pemerintah tahu mau dikemanakan ini uangnya.
{Pemerintah memang tidak punya konsep pemulihan ekonomi, tapi kan bisnis tidak boleh berhenti. Apa strategi pengusaha agar bisnisnya tetap bisa jalan?}
Kalau saya nyalahin pemerintah terus kan juga nanti malah jadi sulit. Jadi saya pikir sebaiknya tidak menunggu mereka. Nanti perekomian malah nggak jalan-jalan. Karena satu menteri dengan menteri lainnya nggak sinkron. Jadi saya pikir sekarang sebaiknya kita balikin lagi, dari kitanya saja kita coba dululah untuk mandiri. Makanya saya bilang sama teman-teman saya, kita singsingkan lengan baju kita coba. Misalnya yang kecilnya saja, udahlah kita nggak usah lagi pakai jas impor, kita pakai batik. Kita pakai produksi dalam negeri, kita coba bergaya dengan produk dalam negeri. Artinya kalau kita pakai produksi dalam negeri kan paling tidak, kita sudah membela perekonomian nasional, kan begitu. Tetapi permasalahannya, inikan sudah menyangkut hajat hidup orang banyak.
{Sulitnya investasi asing memaksa kita harus bertumpu pada industri lokal. Masalahnya industri lokal sendiri belum bisa berjalan normal, bagaimana menyiasatinya?}
Itukan gini. Asingkan udah nggak percaya sama kita berarti kita harus bertumpu pada industri lokal, sementara industri lokal ribut melulu. Tiap tahun ribut masalah UMP. Kalau saya bilang, kenapa nggak bisa dibikin suatu formulasi saja. Disisi lain, kita juga harus jelas, kasarnya kita tunduk sama asing atau kita tolak sama sekali. Tapi semua resiko harus ditanggung pemerintah.
Kalau kita mau tutup sama sekali dari asing, kita siap saja. Misalnya industri apa yang mau kita tumbuhin, sepatu misalnya. Dulu kan industri sepatu kita bagus, kompetitif, pasarnya juga bagus. Pertanian kita juga kita perbaiki, market kita kan kuat, 220 juta orang. Tapi kita bangun, kita jalankan supaya bisa kompetitif. Sekarang kan nggak, tiap tahun hanya ribut masalah UMP. Orang itu nggak bisa berencana ke depan, minta naik 40 -70 persen, itukan bikin shock therapy yang luar biasa. Akhirnya banyak pengusaha yang sudah sepuh, lebih memilih menutup pabrik, buntutnya terjadi PHK dan makin banyak pengangguran.
{Secara garis besarnya, isi cetak biru itu bagaimana seharusnya?}
Pertama kali kan kita harus menciptakan output bagus. Output itu apa, yaitu barang yang kita produksi dengan harga kompetitif baik secara nasional maupun internasional. Itu musti jelas diperjelas dulu, apa barang-barang unggulan Indonesia supaya bisa jalan. Kedua, kemudian kita juga musti berbicara mengenai manfaat dan mudharatnya terbukanya batas dunia dalam soal penjualan, free trade aggrement. Misalnya masalah gula, itu musti ada satu mekanisme yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Anda bisa bayangkan, Malaysia merasa bahwa industri otomotifnya sebagai industri andalan mereka, merasa tidak siap menghadapi AFTA 2003, mereka mengeluarkan sekitar 218 komponen itu termasuk dalam industri otomotif, itu mereka keluarkan dari daftar dan akan diproteksi. Anda bisa bayangkan bahwa Malaysia yang rakyatnya cuma 20 juta, itu siapa sih yang mau beli mobil, itu berani memproteksi. Kok kita nggak berani ngomong sama IMF, kan kita ngurusi 220 juta pemakan beras ini supaya kita bisa memprotek industri beras kita. Jadi kan musti jelas, apa sih industri unggulan kita, output kita yang mau kita selesaikan. Nah dari output itukan bisa kelihatan apa saja yang bisa kita bantu supaya stimulus dari output ini bisa berjalan dengan baik.
Misalnya buat industri tekstil, ada peremajaan dari mesin-mesinnya. Kan udah lama nih. Kita terakhir beli mesin mungkin tahun 1996 atau 97 sebelum krisis. Berarti kan udah lima tahun ketinggalan. Kita musti siapin dari mesin-mesin kita. Kita kumpulin mesin dari perusahaan-perusahaan tekstil tersebut, dikasih insentif. Siapa yang mau memperbaiki mesinnya, dikasih pinjaman berbunga murah untuk memperbaharui teknologi mesin tekstilnya. Atau siapa yang mau masuk ke industri tekstil secara gede-gedean pemerintah memberikan sarana atau bantuan tertentu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved