Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/01).
Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017. Selain Partai Idaman, ada sejumlah pihak lain yang juga mengajukan uji materi pasal 222 UU Pemilu. Diantaranya adalah Habiburokhman dengan nomor 44/PUU-XV/2017, Effendi Gazali dengan nomor 59/PUU-XV/2017, Hadar Nafis Gumay dengan nomor 71/PUU-XV/2017 serta Mas Soeroso dengan nomor 72/PUU-XV/2017.
Dalam pasal itu disyaratkan, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam dalil yang diajukan pemohon, pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019. Pasal tersebut tak relevan karena pileg dan pilpres 2019 digelar secara serentak.
Selain itu, pasal tersebut dinilai pemohon diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan capres.
Namun, MK tidak sependapat dengan hal itu. Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.
Kendati demikian, MK mengabulkan permohonan Partai Idaman terhadap uji materi pasal 173 ayat (1) dan (3) UU Pemilu. Dengan dikabulkannya permohonan ini, maka partai lama peserta pemilu 2014 harus tetap menjalani verifikasi faktual. “Mengabulkan permohonan untuk sebagian," ujar Arief.
Ada dua hakim MK yang mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat terkait putusan MK terhadap uji materi pasal 222, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Kedua hakim berpendapat ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 itu seharusnya dihapuskan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved