DATO Sri Anwar Ibrahim ternyata memberikan respons atas penghinaan yang dilakukan Gus Miftah kepada penjual es teh, Sunhaji. Acara itu, berlangsung di jajaran kementerian keuangan Malaysia, ditayangkan Selangor TV, Kami, 5 Desember 2024.
Di Indonesia sendiri, penghinaan terhadap penjual es teh oleh Gus Miftah telah menjadi perhatian publik beberapa hari terakhir ini, karena viral. Di mana, dari video yang beredar, Gus Miftah mengolok-olok penjajak es teh yang menghadiri pengajian dia di Magelang, 20 November lalu.
Miftah mengatakan goblok kepada tukang es itu, yang berada di arena pengajian, karena seharusnya dia pergi menjual es teh dulu agar esnya bisa habis. Lalu, menurutnya, jika tidak habis ya itu takdir Allah.
Rakyat dan netizen Indonesia tersentak kaget dan marah besar dengan penghinaan terhadap rakyat kecil ini. Apalagi dalam peristiwa itu beberapa kiai yang mendampingi Miftah ikut pula tertawa-tawa dengan penghinaan goblok itu.
Setelah rakyat dan netizen berbondong-bondong bersimpati pada sang penjual es teh, akhirnya Gus Miftah meminta maaf. Di samping simpati, ternyata berbagai kalangan mendatangi rumah penjual es memberikan uang yang totalnya ratusan juta, hadiah umrah, beasiswa sekolah anak, dan lain sebagainya.
Miftah sendiri berusaha merangkul penjual es itu, karena malu.
Tulisan saya ini ingin menanggapi respons Yang Mulia Dato Seri Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, yang ikut menanggapi peristiwa di atas. Video itu menyebar dari TikTok dan medsos lainnya yang di-upload Selangor TV dan media lainnya. Anwar mengatakan, dia mendapatkan informasi tentang penghinaan Gus Miftah ini melalui sahabat-sahabatnya di Indonesia. Dia sangat sedih orang miskin dihina.
Ada 3 hal yang penting bagi saya untuk merespons tanggapan Dato Seri Anwar. Pertama, Dato Anwar mengatakan bahwa bagaimana bisa keangkuhan itu datang dari kalangan pendakwah. Padahal dia paham agama.
Di sini dia mengimbau perlunya refleksi bagi semua elite, termasuk pejabat bank maupun negara untuk memperhatikan kehidupan pekerja-pekerja kasar atau orang-orang yang paling miskin, yang ada di lingkungan mereka.
Dato Seri Anwar juga mengapresiasi Prabowo yang mengecam Gus Miftah, sehingga Miftah itu akhirnya meminta maaf.
Kedua, Dato Seri Anwar mengatakan, dia mendapatkan informasi ini dari teman-temannya di Indonesia. Teman-teman Datuk ini di Indonesia tentunya elite-elite Bangsa Indonesia.
Karena Perdana Menteri Malaysia ini mempunyai banyak relasi di kalangan elite politik dan pebisnis kita. Artinya, persoalan penghinaan Gus Miftah ini sudah jadi bahasan elite-elite politik kita.
Mungkin banyak orang di elite nasional bingung, bagaimana makhluk seperti ini bisa menjadi Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia?
Ketiga, Malaysia adalah tempat di mana sekitar 5 juta rakyat Indonesia mencari nafkah, lebih setengahnya diperkirakan "ilegal". Berbagai kasus menimpa pekerja-pekerja kita di sana, ada yang diperkosa majikan, disiksa dengan setrikaan, kerja tanpa kenal waktu, dan lain sebagainya.
Tentu saja kejadian-kejadian ini bisa terjadi karena memang banyak rakyat kecil kita adalah manusia "tanpa kehormatan" alias pasrah dihina. Sebab, di dalam negeri mereka sudah juga menjadi manusia yang suka atau tak berdaya dihinakan.
Persoalannya ke depan, jika standar penghinaan Gus Miftah ini menjadi "mainstream", maka besar kemungkinannya pekerja kita di Malaysia bisa dianggap benar-benar setara budak oleh Bangsa Malaysia. Saat ini sendiri, sudah acapkali ditengarai bahwa bangsa Malaysia merasa lebih superior dari kita.
Keangkuhan dan Kesombongan Elite
Dato Anwar Ibrahim mungkin tidak paham bahwa Miftah bukanlah sekadar pendakwah. Dia adalah elit kekuasaan. Dia adalah Utusan Khusus Presiden alias setingkat dengan Menteri, dengan gaji dan fasilitas besar.
Penghinaan terhadap rakyat jelata sesungguhnya merujuk fenomena baru di Indonesia, khususnya di era Jokowi. Jokowi sering dengan gaya angkuh melempar-lemparkan kantongan bansos kepada rakyat di tepi jalan, lalu dipertontonkan melalui video viral. Bahkan, suatu kali di istana, orang-orang terinjak-injak karena rebutan bansos Jokowi.
Model ini kemudian mengilhami orang-orang dekat Jokowi mengejek-ngejek rakyat dan kelompok ras tertentu. Tercatat misalnya, dua orang dekat Jokowi, menyamakan seorang tokoh Papua, Natalius Pigai, dengan gorilla.
Ada lagi yang menyamakan anak-anak kecil pengajian dengan "calon teroris". Menghina orang-orang yang celananya cingkrang. Menghina anak-anak Masjid yang senang menyuarakan azan. Menghina ibu-ibu pengajian dianggap menelantarkan anak. Menghina tukang bakso untuk dijodohkan dengan anaknya. Membunuh anak-anak muda FPI tanpa salah di KM50.
Banyak lagi lainnya sampai dengan membudayanya suap-menyuap dalam masyarakat di pemilihan umum (rakyat hanya dihargai 50 ribu suaranya). Alhasil, "power relation" yang tidak equal, menyebabkan rakyat kecil menjadi bangsa terhina. Miftah adalah pendakwah yang top di era Jokowi. Mungkin dia termasuk terilhami Jokowi pula.
Era Jokowi itu sesungguhnya terbalik dari era sebelumnya, yakni era SBY. Penggunaan binatang, kerbau, pernah diasosiasikan kepada SBY saat dia berkuasa. Para demonstran membawa kerbau dan menuliskannya "SBY" di badan kerbau itu.
Ada lagi yang mengatakan SBY dengan panggilan SUSI dari potongan kata Susi-lo. Keduanya untuk mengejek SBY sebagai penguasa. Jika dianalisis sebagai penguasa kontra "civil society", perlawanan rakyat seperti itu bukan dianggap penghinaan melainkan kritik sosial dari rakyat yang diperintah. Sedangkan di era Jokowi, penguasa yang menzalimi rakyat.
Untuk kesombongan era Jokowi itu, suatu waktu filsuf Rocky Gerung tidak sanggup lagi menahan emosinya, sehingga dia memberi gelar "bajingan tolol" pada Jokowi. Sebuah "penghinaan" yang dikaitkan dengan pengabaian Jokowi atas nasib buruh. Ejekan Rocky lebih keras dari ejekan mahasiswa yang memberikan kemudahan gelar Jokowi adalah "King of Lip Service", dan lain-lain.
Persoalannya, sampai kapan keangkuhan elite ini akan berlangsung?
Prabowo sesungguhnya telah berusaha menunjukkan tema-tema perubahan besar saat ini. Prabowo menaikkan upah buruh dan tunjangan guru serta menghapus jeratan utang 6 juta pelaku usaha kecil. Menghancurkan judi online, dan lain-lain. Ini adalah peristiwa struktural yang hebat.
Namun, secara kultural, yang bercampur struktur pada akhirnya, selama 10 tahun rezim Jokowi telah membangun kultur kesombongan elite yang susah diubah. Penggusuran tanah-tanah rakyat kecil, misalnya, dilakukan dengan sombong karena kultur dan struktur.
Di depan mata kita, yang dekat ibukota, misalnya, penggusuran paksa rakyat nelayan dan petani dilakukan oleh sebuah grup bisnis hanya karena menggunakan stempel PSN dari Jokowi, bahwa dia bisa mengatasnamakan negara untuk penghinaan terhadap rakyat.
Sikap seperti ini adalah budaya angkuh. Mereka terbiasa menggampangkan semua hal bahwa mereka di atas norma dan hukum. Bahwa hukum bisa dibeli.
Di era Soeharto saja, sebagai bandingan, penggusuran tanah-tanah rakyat dilakukan dengan berbagai perundingan. Bahkan, saat itu sudah dikenal istilah "Membangun Tanpa Menggusur". Rakyat disertakan dalam "value added" transformasi yang terjadi karena pembangunan.
Dalam sektor perburuhan, misalnya juga, Soeharto mendorong adanya Hubungan Industrial Pancasila (HIP), di mana dialog buruh dan majikan diperkuat. Saat ini, baik sebelum adanya UU Omnibus Law Ciptaker maupun sebelumnya, rezim Jokowi menyingkirkan posisi buruh.
Sehingga akhirnya di era Jokowi, pengusaha menganggap buruh hanyalah pelengkap dunia usaha, bukan lagi sebagai "stakeholder" ataupun manusia yang punya masa depan. Sehingga mereka melihat isu-isu kenaikan upah dan kesejahteraan buruh jadi dianggap aneh.
Prabowo yang sudah mengenali dan menjadi jenderal ketika para pengusaha-pengusaha ini masih "pakai kolor" dan menjadi penjilat penjilat di sekitar elite kekuasaan Soeharto, tentu tidak bisa menerima keangkuhan pengusaha rakus tersebut.
Ketika Prabowo menaikkan upah buruh lebih besar dari ajuan menteri dan para pengusaha, dengan gagahnya Prabowo mengatakan dia mendengar tokoh-tokoh buruh saja untuk sebuah keputusan membela rakyat. Prabowo tidak gentar menghadapi "ancaman" pengusaha.
Persoalannya adalah kekuasaan Prabowo sendiri masih dilumuri orang-orang seperti Gus Miftah dan sejenisnya yang memang "mindset" mereka terhadap rakyat sangat buruk. Sehingga, kekuasaan Prabowo untuk rakyat bisa gagal dalam implementasi. Karena orang orang yang tidak ideologis dapat dengan mudah menjadi pengkhianat atas cita-cita Prabowo.
Orang-orang seperti Gus Miftah juga adalah "toxic" ataupun "komorbid" dari era Jokowi, yang bertentangan dengan Prabowo. Prabowo sendiri dalam sisi karakter adalah produk sejarahnya sendiri, di mana dia tumbuh berkembang sebagai patriot dalam jangka beberapa generasi. Sebaliknya, Gus Miftah dan sejenisnya adalah produk karbitan tanpa ideologi dan idealisme.
Sehingga untuk menjawab situasi ini akan sampai kapan, yakni kekuatan struktural Prabowo versus budaya rusak bawaan Jokowi, tergantung seberapa cepat konsolidasi kekuatan dan kekuasaan Prabowo ke depan.
Jika tentara, sebagai kekuatan utama sebuah bangsa, dapat dikonsolidasikan Prabowo secepatnya, kemudian selanjutnya polisi dan aparatur sipil, sehingga semuanya berorientasi melayani rakyat. Maka Prabowo dapat secepatnya pula mengimplementasikan cita-cita kerakyatannya selama ini.
Selain tentara dan aparatur lainnya, tentu saja orang-orang seperti Gus Miftah harus dibersihkan dari lingkungan kekuasaan Prabowo. Sehingga, setidaknya tidak membuat rakyat "ambigue" terhadap sosok tulus Prabowo.
Sehingga pula dalam beberapa tahun, orientasi pembangunan kita akan berkiblat pada kemakmuran semua rakyat, bukan segelintir orang. Ukuran keberhasilannya antara lain adalah bagaimana secepatnya kenaikan upah buruh dapat dipatuhi pengusaha, penggusuran petani dan nelayan dapat dihentikan, bank-bank negara berfungsi melayani seluruh rakyat, bukan hanya etnis tertentu, rezim impor dihentikan, ilegal sawit diserahkan kepada koperasi petani, dan lain sebagainya.
Penutup
Dato Seri Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, yang ikut membahas penghinaan Gus Miftah kepada orang miskin yang mencari nafkah, membuat kita harus insaf. Kesombongan elite yang dipelihara rezim Jokowi dan orang-orang seperti Gus Miftah, produk rezim Jokowi, secepatnya harus diubah oleh Presiden Prabowo.
Prabowo tentu harus diapresiasi dengan berbagai upayanya memuliakan rakyat kecil. Namun, tantangan ke depan sangat berat karena budaya bawaan Jokowi masih banyak menguasai orang-orang di sekitar Prabowo serta oligarki sekutu mereka.
Prabowo perlu segera konsolidasi kekuatan dan kekuasaan dengan tangan besi. Dia harus segera menyingkirkan orang-orang seperti Gus Miftah dan para "kutu busuk" di sekitar dia. Jangan sampai terlalu lama rakyat kecil terhina. Nanti, orang seperti Dato Anwar Ibrahim dan rakyatnya berpikir kita memang bangsa budak. Kita sedang mempertaruhkan kehormatan jutaan pekerja kita di Malaysia.
Begitupun kita perlu menyampaikan permohonan maaf kepada Dato Seri Anwar Ibrahim, bahwa kita sebagai sebuah bangsa masih perlu berbenah. Kita berharap rakyat kita di Malaysia tetap dihormati mereka sebagai manusia bermartabat.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
© Copyright 2024, All Rights Reserved