Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan berpendapat tindak pidana korupsi tidak termasuk kejahatan yang luar biasa atau {ektraordinary}. Karena itu sebaiknya pengadilan ad hoc tidak perlu dikembangkan ke seluruh wilayah Indonesia.
"Landasan hukum pemberantasan tindak kejahatan korupsi itu ya itu-itu saja, KUHP dan UU Antikorupsi, tidak ada yang aneh karena sifat dari kejahatan itu sendiri dari dulu sudah terjadi," kata Bagir ketika memberikan sambutan dalam pembukaan pendidikan khusus profesi advokat di Jakarta, Senin (9/4).
Menurut Bagir, untuk menguatkan hal tersebut MA akan menganalisa secara akademis. "Saya akan menganalisa secara akademis," ungkap Bagir. Saat ini menurut Bagir, ada dua penyebab munculnya ide pengadilan ad hoc untuk kasus tindak pidana korupsi.
Pertama, karena turunnya kepercayaan masyarakat terhadap peranan hukum di Indonesia. Penyebabnya berbagai macam, seperti adanya intervensi pihak lain kepada pengadilan, adanya desakan dari kelompok penguasa atau adanya publik opini yang digalang melalui pemberitaan.
Kedua, situasi yang abnormal. "Kalau situasinya abnornal, mari kita sama-sama ciptakan situasi yang normal, tidak perlu membuat berbagai bentuk perangkat hukum yang sifatnya sementara," ajak Bagir. Ketua MA juga mempertanayakan apakah benar kualitas hakim pengadilan ad hoc lebih piawai dari hakim pengadilan negeri reguler.
Menurut dia, jika pengadilan ad hoc untuk menekan tindakan kejahatan korupsi akan diperluas ke berbagai daerah, maka minimal akan diperlukan lebih 2.000 hakim. "Hal itu bukan hanya menjadi masalah bagi hakim reguler, tetapi juga soal anggarannya," kata Ketua MA lebih jauh.
© Copyright 2024, All Rights Reserved