Hak-hak korban kurang mendapat perhatian sebagaimana yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, aparat penegak hukum kurang memahami manfaat dan fungsi LPSK.
"Salah satu kendala selama ini masih lemahnya ketentuan pemberian reparasi terhadap korban dalam UU tersebut. Minim pemahaman aparat penegak hukum terhadap pentingnya pemberian reparasi korban," ungkap Abdul Haris Semendawai, Ketua LPSK dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (31/10).
LPSK menggelar rapat koordinasi selama tiga hari. Rapat ini rupanya membahas sejumlah kendala yang dihadapi lembaga yang belum berusia 5 tahun itu. Antara lain ditemukan kurang diperhatikannya hak-hak korban yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang LPSK. Selain itu, LPSK menilai aparat penegak hukum kurang memahami manfaat dan fungsi LPSK.
Kata Abdul Haris, korban dalam kejahatan HAM berat, pidana, dan korupsi mengalami penderitaan fisik dan psikologi. Namun perhatian terhadap para korban, seperti yang diatur dalam UU LPSK kurang diperhatikan.
"Penderitaan yang mereka alami sering kali fisik dan psikologi, dan juga kerugian setara ekonomi," ujarnya.
Menurut Ketua LPSK, aparat penegak hukum lebih fokus pada pelakunya dijatuhi hukuman. Sedangkan kebutuhan korban tidak diperhatikan.
Sementara soal pelanggaran HAM berat, LPSK telah memberikan pelayanan ke korban. "Sekitar 400 sampai 500 korban yang sebagian berusia 60 tahun sudah dapatkan bantuan dari LPSK," ungkap Abdul Haris.
© Copyright 2024, All Rights Reserved