Tekad dan semangat untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia diatas 6 persen, setidaknya tergambar dari beberapa program kebijakan ekonomi yang digagas tiga pasangan kandidat capres-cawapres yang akan berkompetisi pada 8 Juli ini.
Membangkitkan ekonomi kerakyatan (?) merupakan genderang yang ditabuh untuk memikat hati para pemilih. Ada yang ingin melakukan penjadwalan hutang---sehingga uang yang dikeluarkan untuk membayar hutang bisa digunakan untuk menggerakkan sektor ekonomi di dalam negeri. Ada yang ingin melanjutkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)---sehingga pengusaha yang bermodal Rp5 juta, bisa menggeliat bangkit. Ada yang ingin membuat kemandirian ekonomi---sehingga tidak tergantung modal asing.
Menarik. Yang pasti, dari 176.367.056 rakyat pemilih, kebanyakan tidak mengerti dan memahami perdebatan soal kiblat ekonomi yang namanya neoliberalisme, kapitalisme, dan isme-isme lainnya. Mereka hanya tahu sebatas saktinya konglomerat, hebatnya pengusaha pemerintah, angkuhnya pengusaha asing, dan lunglainya koperasi.
Dari empat jenis penguasa bisnis di Indonesia ini, rakyat sebenarnya lebih dekat dengan koperasi. Beranjak sedikit, untuk memenuhi terpepetnya kebutuhan hidup mereka, kantor Pegadaian lah yang dikenal rakyat. Bila disini sulit, maka usaha yang tidak jelas, semacam rentenirlah yang menjadi tumpuan permodalan mereka.
Soalnya kemudian, komitmen untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan, tidak menegaskan komitmen untuk membangkitkan bisnis dan peran koperasi secara maksimal. Bukan seperti konsep pengembangan koperasi, seperti yang dilakukan selama ini ? namanya saja yang koperasi, tapi dibalik itu semua konglomerat yang ada dibelakangnya. Misalnya seperti kasus Sisminbakum, Paspor dan sebagainya.
Mengapa komitmen untuk mengembangkan koperasi secara sehat, tidak secara tegas dan jelas ditabuh? Apakah koperasi sudah terlupakan? Atau sudah berubah makna, seperti anekdot yang berkembang selama ini, hanya sebatas untuk ku-perasi atau kau-perasi? Padahal usaha yang satu ini, sejak UUD 1945 dilahirkan, hingga diamandemen, Koperasi selalu dijaga keberadaannya.
Mengapa pemerintah berani membuat Daftar Negatif Investasi, hanya untuk pengusaha asing dan pengusaha swasta saja? Mengapa pemerintah tak melahirkan Keppres atau peraturan sejenis, untuk membatasi bidang usaha yang bisa disentuh para pemodal kuat tadi. Dan bidang usaha tertentu itu, pelakunya hanya koperasi.
Gurita bisnis pemodal kuat (konglomerat asing dan konglomerat swasta), kini sudah merambah kemana-mana. Ditingkat kecamatan, usaha rakyat pemilih sudah tergerus oleh gerai-gerai serba ada yang dilakoni para pemodal kuat. Merk-merk gerai, semacam indomart,alfamart, ceria, dan sebagainya, secara apik terpampang hingga ketingkat kecamatan. Adakah gerai-gerai bisnis koperasi disana? Ada, tapi hanya sebatas papan nama yang tidak memiliki usaha apa-apa. Paling banter, usaha simpan-pinjam yang bunganya pun mencekik leher.
Lantas, apa yang menjadi tekad dan target presiden mendatang untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan? Pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen memang cukup realistis. Namun, kondisi keuangan negera dan iklim perekonomian global masih kurang menggairahkan.
Guna membuat Indonesia menjadi cantik bagi para investor, baik dalam negeri ataupun asing, proses reformasi hukum misalnya tentang upaya memberantas korupsi, memerangi penyelundupan terus dilanjutkan dan tanpa toleransi.
Tapi usaha gelap pembajakan hak cipta (jadi seperti usaha legal), produknya dijual dimana-mana. Mulai dari pasar dipinggiran desa, hingga menyewa tempat mewah di mall-mall terkemuka, lagu, film, software hasil bajakan, laris manis seperti kacang goreng. Kemana mata aparat penegak hukum kita? Nah, bisnis semacam ini tak perlu dilanjutkan.
Siapa lagi yang akan menggerakkan perekonomian nasional, kalau bukan bangsa sendiri. Jadi, sepantasnya bila pemerintah kedepan, memberikan komitmen yang tinggi (bukan basa-basi atau janji-janji) untuk secara benar dan menempatkan koperasi menjadi pelaku ekonomi nasional. Jangan hanya memberi apresiasi dan insentif kepada konglomerat lokal atau kepada konglomerat asing saja.
Memang, fundamental perbaikan iklim investasi harus terus dilanjutkan. Setidaknya ada empat hal; Pertama, pembangunan kredibilitas kebijakan pemerintah. Bukan kebijakan grusa-grusu yang tak tentu ujungnya.Kedua, penegakkan hukum yang konsisten. Siapapun yang melanggar hukum, harus terkena sanksii hukum. Bukan diselamatkan atau dialihtugaskan. Ketiga, pemeliharaan dukungan publik untuk perbaikan kebijakan. Keempat, kebijakan yang diambil telah disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Selain itu, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, penguasaan teknologi, dan regulasi di bidang perpajakan, bea cukai, ketenagakerjaan, serta pembenahan pelaksanaan otonomi daerah juga perlu dilakukan. Tentu saja pengembangan dan perbaikan infrastruktur dalam rangka merangsang minat investor harus dilanjutkan.
Pemberantasan penyelundupan baik secara administratif maupun secara fisik seperti illegal loging, illegal fishing, dan illegal trading, memang perlu dilanjutkan.
Ujungnya, memang banyak yang masih harus dilanjutkan. Tidak cukup hanya meletakkan dasar-dasar perubahan. Rakyat kebanyakan juga menyadari, bahwa setiap pergantian pejabat dan pemerintahan, kebijakan yang sudah tepat dan benar arahnya, kerap kali diubah-ubah oleh pejabat yang baru karena banyaknya konflik kepentingan. Sehingga bangsa ini, selalu dalam kondisi maju-mundur melulu.
Bila semua berjalan sesuai dengan tekad dan komitmen, maka menciptakan lingkungan yang ramah terhadap usaha koperasi, sekaligus memfasilitasi dunia usaha agar memiliki peluang dalam kompetisi era perdagangan bebas, serta penciptaan good corporate governance akan dilanjutkan. Dan perekonomian nasional secara komprehensif akan bangkit. Tentu kita ingin melanjutkan pembangunan Koperasi yang benar dan tangguh. Bukan melanjutkan bisnis Ku-perasi atau Kau-perasi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved