Komisi VI DPR menyatakan inefisiensi yang dilakukan PT PLN lebih tinggi dibanding kasus token. Inefisiensi di PLN itu telah merugikan negara rata-rata Rp 50 triliun setiap tahunnya. Inefisiensi itu terjadi karena tingginya biaya bahan baku (BBM dan pelumas)
Inefisiensi yang sudah terjadi 10 tahun lebih itu cenderung dibiarkan. PLN menghabiskan 7 miliar liter BBM setiap tahunnya. Jika dihitung agregat 10 tahun maka kerugian negara sama dengan Rp500 triliun atau sekitar 25 persen APBN.
"Kerugian itu terjadi disebakan inefisiensi produksi listrik karena mayoritas pembangkit PLN adalah mesin diesel (PLTD) rakitan. Kalau ditarik lebih dalam, itu terjadi karena gagalnya proyek 10.000 MW yang lebih banyak pakai barang rakitan," ," Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (10/09).
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, andai saja program 10.000 MW tahap 1 yang lalu itu berhasil, maka tidak ada lagi keluhan pemadaman seperti yang masih terjadi di luar Jawa.
Menurut Heri, harga pokok produksi listrik bisa ditekan dan tarif jualnya jadi murah, bahkan, mestinya per kWh bisa hanya Rp400-Rp500 karena PLN tidak perlu lagi membayar biaya yang tidak perlu seperti sewa diesel.
"Di tengah-tengah kerugian uang rakyat yang disedot habis PLN, kini masyarakat masih harus dibebankan lagi dengan Pajak Penerangan Jalan yang menjadi bagian dari komponen yang harus dipotong pada pembayaran token sebesar 1,24 persen. Patut menjadi pertanyaan Ini managing business apa?" kata Heri bertanya.
Heri meminta PLN harus berani terbuka dan berbicara panjang lebar ke publik. Sebab, hal ini penting untuk menjadi bahan evaluasi dalam pembangunan proyek 35.000 MW.
"Kalau memang tidak feasible, pangkas. Termasuk juga dugaan korupsi teknologi pada Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi pertanyaan mendalam," kata Heri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved