Berbicara mengenai kiat menghadapi pemberitaan pers pada era reformasi perlu terlebih dahulu diketahui apa yang menjadi azas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan pers menurut peraturan perundang-undangan, khususnya UU No.40 tahun 1999. Dengan begitu, pelayanan dan kelancaran arus informasi kepada publik, diharapkan dapat tercapai.
Sebab berdasarkan pengalaman, pelayanan dan kelancaran arus informasi kepada publik sering tidak utuh dan tidak lengkap karena tidak adanya transparansi. Hal itu karena tertutupnya sumber informasi di satu sisi dan kurangnya komitmen di sisi lain tentang adanya hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Kalau menyimak UU No.40 tahun 1999 tentang pers secara tegas dimuat mengenai azas pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat. Fungsi pers ditandaskan sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sedang mengenai hak pers dikatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara. Tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pun pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Selain mengenai hak, UU Pers juga memuat kewajiban pers yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta azas praduga tak bersalah. Pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Kemudian bagaimana mengenai peranan pers? Dalam UU Pers ditegaskan, pers nasional melaksanakan peranan melalui hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, serta HAM. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Satu substansi penting untuk diingat bahwa UU Pers menjamin dan melindungi secara hukum profesi wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik pemerintah maupun masyarakat.
Kalau kita berbicara mengenai kiat menghadapi pemberitaan pers pada era reformasi, beberapa aspek tersebut di atas harus menjadi acuan. Tekanan pemerintah yang otoriter terhadap pemberitaan pers selama sekitar 30 tahun, dan tiba-tiba membuka lebar-lebar kebebasan pers, memang membuat terjadinya semacam kegamangan dalam menerapkan kemerdekaan pers. Kegamangan tidak hanya meliputi jajaran pers, tapi juga masyarakat luas.
Tidak heran kemudian timbul pertanyaan siapa sebenarnya wasit yang berwenang menetapkan terjadinya pelanggaran kode etik sekaligus menjatuhkan vonis atas pelanggaran itu. Pertanyaan itu muncul karena dalam era reformasi sekarang kode etik terkesan kurang dijadikan acuan, sehingga masyarakat menuduh pers Indonesia telah mempraktikkan apa yang disebut "jurnalisme anarki", "jurnalisme provokasi", "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintir ", "jurnalisme cabul", dan berbagai citra negatif lainnya.
Padahal pada era kemerdekaan pers yang sangat liberal dewasa ini, penegakan etika pers dan ketentuan hukum sangat penting untuk menjaga dan menghindari agar tidak menjurus pada pemberitaan yang bersifat anarkis. Lebih-lebih sudah sejak lama berkembang pendapat sebagian kalangan bahwa kode etik tersebut tidak perlu.
Menurut mereka, kode etik hanya membatasi ruang gerak wartawan, dan membelenggu hak mengeluarkan pendapat dan berekspresi. Dalam satu sarasehan yang diselenggarakan Dewan Kehormatan PWI bekerjasama dengan LKBN pada sekitar tahun 1989, salah seorang peserta menginterupsi dengan mengatakan bahwa kode etik tidak diperlukan. Peserta tadi bahkan menuduh kode etik jurnalistik sebenarnya hanya produk orang-orang tua yang seharusnya sudah turun panggung, tetapi masih ingin tetap eksis. Sementara bagi para wartawan lain terutama generasi muda kode etik hanya membatasi kebebasan pers terutama dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.
Terus terang, sejak saat itu adanya kecenderungan kalangan sementara wartawan untuk menganggap enteng kode etik sebagai landasan moral profesi. Pemikiran negatif seperti itu justru seolah-olah mendapat legitimasi dari pemerintah, dengan melakukan deregulasi peraturan perundang-undangan di bidang pers, terutama menyederhanakan pemberian SIUPP. Pemberian SIUPP yang tadinya memerlukan l6 persyaratan, dengan Permenpen No 1 tahun 1998 yang ditandatangani Muhammad Yunus ketika itu disederhanakan hanya menjadi tiga syarat. Prosesnya pun sangat singkat, dalam dua atau tiga hari, sudah dikeluarkan.
Menpen Muhammad Yunus juga mencabut SK Menpen No 47 tahun 1975 yang menetapkan PWI dan SPS sebagi satu-satunya organisasi bagi wartawan dan perusahaan pers. Sejak itu, berdiri puluhan organisasi wartawan. Bahkan dimungkinkan seorang wartawan untuk tidak bergabung ke dalam salah satu organisasi wartawan yang ada.
Dengan bebasnya memperoleh SIUPP, siapa saja yang punya modal, dapat menerbitkan surat kabar, majalah, tabloid, dan lain-lain. Rekomendasi dari organisasi profesi juga tidak lagi diperlukan. Tidak heran kemudian ada pimpinan redaksi media yang sama sekali tidak berlatar belakang kewartawanan, sehingga profesionalitas media itu disangsikan.
Pemaparan di atas hanya sekadar ilustrasi menggambarkan bahwa kondisi obyektif dunia pers kita sekarang, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik yang dianggap membatasi kemerdekaan pers. Selain pemikiran yang kurang pas mengenai keberadaan kode etik, ada juga pemikiran agak lucu yang mengatakan, membicarakan etika pers merupakan suatu kemunduran.
Pemikiran seperti itu jelas tidak beralasan. Sebab, justru pada era kemerdekaan pers ini, penerapan etika pers menjadi sangat penting. Apabila kemerdekaan pers tidak dipagari etika jurnalistik, justru bisa menjadi bumerang karena akan menjurus ke anarkisme.
Pasalnya, kode etik merupakan rambu-rambu, kaidah penuntun dan sekaligus pemberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Atas dasar itulah di bagian terdahulu dikemukakan bahwa penerapan dan penegakan etika pers dan hukum sangat penting.
Pilar utama kode etik
Perlu diingat, kalau seseorang terjun ke dunia kewartawanan, maka paling tidak ada tiga pilar utama yang menjadi pegangan dalam menjalankan tugasnya.
Piar utama pertama adalah kode etik jurnalistik. Seperti dikemukakan di atas, kode etik merupakan landasan moral, kaidah penuntun dan pemberi arah bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Percayalah, tanpa kode etik, pemberitaan pers akan menjadi anarkis. Dalam hubungan ini ada ungkapan tokoh pers nasional almarhum Mahbub Djunaedi, mantan Ketua Umum PWI Pusat. Beliau mengatakan, kode etik memang sengaja dibuat untuk menghindarkan wartawan menjadi terorisme dan anarkis.
Pilar utama kedua adalah norma hukum. Ternyata dalam praktiknya kode etik masih belum cukup. Masih mutlak diperlukan penataan akan norma hukum. Kode etik dan norma hukum memang sangat erat kaitannya. Sebab apa yang dilarang kode etik juga dilarang oleh hukum. Demikian sebaliknya, apa yang dilarang oleh hukum, juga dilarang oleh kode etik. Namun etik dan hukum tidak identik. Apa pasal?
Suatu perbuatan pidana dapat dimaafkan secara hukum, tapi tidak dapat dimaafkan secara etika: Contoh klasik, dua orang yang berada dalam sebuah sampan berlayar di tengah laut tiba-tiba diterpa gelombang besar dan angin ribut, maka kalau ingin selamat salah seorang diantaranya harus dikorbankan. Dalam keadaan darurat seperti itu, tindakan mengorbankan nyawa orang lain untuk menyelamatkan atau membela diri, dapat dimaafkan secara hukum. Tetapi secara etika tidak dapat dimaafkan.
Berkenaan dengan norma hukum tersebut, perlu dikemukakan disini bahwa sejumlah media tengah menghadapi tuntutan hukum, baik pidana maupun perkara perdata umumnya bermuara pada tuntutan ganti rugi yang jumlahnya sangat fantastis meliputi puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Bisa dibayangkan apa jadinya apabila tuntutan ganti rugi tersebut dikabulkan pengadilan. Bisa-bisa media gulung tikar hanya karena terpaksa membayar ganti rugi. Oleh karena itulah penguasaan dan penataan akan norma hukum sangat penting.
Pilar utama ketiga adalah profesionalisme. Dalam praktik, ternyata penataan akan kode etik dan norma hukum saja tidak cukup. Oleh karenanya, mutlak diperlukan profesionalisme. Yaitu keterampilan untuk mengemas dan meramu berita sedemikian rupa, sehingga pesan yang akan disampaikan kepada publik dapat diterima dan dimengerti dengan jelas. Sebab bisa terjadi informasi yang disampaikan kepada publik tersebut tidak utuh dan tidak lengkap serta tidak jelas bahkan terkontaminasi kalau tidak dikemas dan diramu dengan baik sesuai standar berita yang baku.
Sebab itu, sekali lagi perlu ditegaskan, ketiga pilar utama berupa norma etik, norma hukum dan profesionalisme dalam dunia kewartawanan sangat penting. Dengan kata lain, menurut persepsi kejurnalistikan, penerapan dan penataan norma etik dan norma hukum serta dukungan profesionalisme merupakan hal yang sangat mutlak. Bahkan penataan norma etik dan norma hukum serta profesionalisme merupakan rambu-rambu kemerdekaan pers yang profesional dan bermartabat.
Dalam hubungan ini perlu diingatkan bahwa sekalipun konstitusi dan UU Pers yang berlaku sekarang telah dengan penuh menjamin kemerdekaan pers, namun kemerdekaan pers tidak berarti merdeka untuk melakukan apa saja. Merdeka untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Bukan itu maksudnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved