BEBERAPA kasus sengketa bisnis antara pihak investor Indonesia dengan asing menimbulkan kecemasan. Soalnya
Peradilan Indonesia di mata investor asing sangat buruk. Selain menimbulkan biaya tinggi dan waktu yang lama juga tanpa kepastian. Menurut hakim arbitrase yang juga Ketua BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), Prof.Dr. Priyatna Abdurasyid, pihak asing seratus persen lebih suka menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Mengapa demikian? Lantas penyelesaikan sengketa macam apa yang disenangi oleh para investor asing. Berikut petikannya:
{Bagaimana pandangan pihak asing terhadap peradilan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bisnis?}
Kalau saya menghadiri para pengusaha asing di luar negeri, pertanyaan yang selalu mereka lontarkan, mengapa pengadilan Indonesia itu unreliable. Padahal, kalau pihak asing, misalnya di Amerika Serikat, mengeluarkan dana untuk membayar biaya di pengadilan, mereka bisa kena Undang-Undang Anti Korupsi. Sekarang ini ada kocenderungan di beberapa negara, seperti negara persemakmuran, Amerika Latin, AS dan Uni Eropa, untuk menindak korupsi di mana pun juga oleh siapapun juga. Soalnya, bisnis sekarang sudah tiada batas lagi. Bagi Indonesia, sekarang bagaimana menyiasati perkembangan. Termasuk dalam soal hukum.
{Jadi dalam arus globalisasi ini hukum Indonesia harus mengikuti perkembangan? }
Harus. Makanya manusianya yang harus di up grade. Ibaratnya, jangan sampai tukang sapu jalanan disuruh membawa pesawat Boeing 727.
{Bagaimana agar peradilan pro bisnis?}
Saya tidak ingin mengatakan harus pro bisnis. Pengadilan itu harus wajar, adil dan independen. Jadi tidak harus pro. Yang harus dilakukan adalah
hukumnya benar, manusianya harus direformasi. Membentuk hukum itu lama. Apapun hukumnya, tergantung orangnya. Contoh kasus arbitrase. Hukum yang dipakai hukum Indonesia, yang bersengketa pihak Indonesia dan asing. Maka pakailah hakim orang Indonesia. Karena dia akan "merasakan" jiwa Indonesia. Lalu pembelanya, jangan orang asing. Tentu harus yang profesional. Jangan yang tidak mengerti apa yang dipersoalkan. Jangan memilih pengacara Indonesia lalu di subkontrakkan ke pengacara asing.
{Pihak asing lebih suka memilih pengadilan atau diluar pengadilan?}
Seratus persen lebih suka di luar pengadilan. Anda boleh tanya ke Pak Bagir Manan (Ketua Mahkamah Agung). Sekarang ini, pak Bagir sedang mencoba meng-up grade mental dan pengetahuan para hakim. Sedang diusahakan, kata Pak Bagir cobalah jangan selalu ke pengadilan. Tapi juga ke arbitrase. Tapi banyak hakim yang merasa lahan mereka diambil. Jadinya seperti rebutan lahan. Padahal, banyak hakim kita kalau menghadapi sengketa bisnis tidak mengerti. Tujuan investor ke Indonesia itu untuk berbisnis bukan untuk bersengketa. Banyak pengacara asing yang mendorong kliennya berdamai. Hanya pengacara Indonesia yang mendorong ke pengadilan.
{Pengadilan Niaga yang seharusnya membawa iklim segar bagi investasi juga malah menuai kecaman?}
Nah, kenapa begitu? Karena hakimnya tidak mengerti bisnis. Tidak mengerti apa itu pasar modal, tidak mengerti bursa, apa itu keuangan dunia, apa itu Dow Jones. Jangan-jangan Dow Jones itu dianggap penyanyi. Nah, kalau di Arbitrase itu semua ahli ada. Ahli konstruksi penerbangan, bisnis dll. Pernah saya baca di pengadilan Indonesia, dalam perkara tekstil yang dihadirkan saksi ahli pipa. Kenapa? Pengacara berkepentingan untuk membohongi hakim, dan hakim suka dibohongi. Hakim berpendapat, kan dia bisa mencari saksi ahli, boleh begitu.Tapi alangkah lebih baik kalau dia juga mengerti.
{Berarti hakimnya harus membekali diri?}
Iya, masa mau berperang orang lainyang disuruh. Saya juga bertugas meng-{up grade} para hakim berkalikali. Tapi mereka mengeluh. Karena atasan mereka ikut campur, jadi sistem komando.
{Bagaimana dengan penyelesaian sengketa bisnis di negara maju?}
Di Inggris, misalnya, kalau ada kasus sengketa bisnis pengacaranya bertemu di luar pengadilan. Lalu mereka buka dokumen. Mana yang cocok dan mana yang tidak. Yang cocok mereka kesampingkan. Nah dalam perkara yang tidak cocok mereka berunding. Pengacara yang salah akan bilang, "wah, kalau terus maju klien saya akan kalah, lebih baik berunding sajalah," Nah, si pengacara yang sudah tabu bahwa kliennya lemah tapi terus maju ke pengadilan itu bisa dipecat, karena konduite. Di Indonesia kan terus saja. Yang gampang dibilang susah, yang susah dibilang sangat susah. Soalnya, para pengusaha asing itu kalau bersengketa di pengadilan itu malu. Dan begini, mereka itu misalnya berperkara 100 juta, tapi uang itu bisa mereka terima 10 juta dalam tempo 5 hari saja, mereka senang. Daripada 100 juta tapi di pengadilan dua tahun. Sebab rugi sekarang, tapi bisa berbisnis lagi, kerugian itu bisa ditutup lagi. Tidak ada satu pun pengusaha asing yang mau bersengketa.
{Kalau pengacara Indonesia lebih suka membawa kasusnya ke pengadilan berati ada apa?}
Menurut saya si pengacara sudah punya jalur ke pengadilan. Saya tidak menuduh. Di arbitrase banyak yang mencoba-coba. Saya tidak tahu para kolega saya di arbitrase, pegang perkara apa. Mereka tidak lapor. Mereka independen. Ini bagusnya arbitrase. Dan mereka bisa menjadi hakim arbitrase di Prancis, di Swiss, di Singapura. Mereka harus menjaga nama mereka. Kalau ada yang jelek cepat menyebar.
{Keluhan pihak asing apa?}
Saya pernah menjadi pembicara di Shanghai, dihadiri oleh 1.500 pengusaha. Pembicaraan soal arbitrase di Indonesia. Pertanyaan pertama mereka pada saya, mengapa pengadilan di Indonesia harus ada sogokan? Bayangkan betapa malunya saya.
{Dalam perjanjian bisnis disebulkan?}
Perjanjian-perjanjian bisnis yang tebalnya bisa mencapai 3000 halaman, ujung-ujungnya selalu disebutkan bahwa setiap sengketa akan diselesaikan dengan jalan damai, good faith, mediasi atau arbitrase. Selalu itu. Saya pernah menyelesaikan perkara antara investor Australia dengan Indonesia. Pengacara Indonesia ngotot mau ke pengadilan. Pihak Australia tanya, "Yo' mau berapa sih?" Dia bilang mau nuntut sekian. Akhirnya, bisa damai. Saya bilang kalau mau nuntut ke pengadilan ongkosnya banyak dan lama. Kalau berdamai lima hari selesai. Saya jadi mediator waktu itu. Pihak yang nuntut, hanya kebagian 60% dari tuntutannya. Bisnis lagi mereka, sekarang sudah jalan lagi.
{Tapi arbitrase pun jadi seperti pengadilan. Saling membatalkan putusan di pengadilan?}
Ya, itu yang memberi tahu pengacaranya. Padahal, para pengacara itu bisa juga berkiprah di arbitrase. Tapi maaf saja, banyak pengacara yang berkiprah di arbitrase itu tidak tahu apa-apa. Mereka harus sekolah lagilah. Dalam arbitrase, hakim tidak boleh mengorek-ngorek perkara. Yang boleh itu prosedurnya.
{Seperti rebutan lahan?}
Nah, hakim itu jadi merasa lahannya diambil. Padahal kalau kita ini, bagaimana bisa membantu negara dalam sengketa bisnis. Sebab yang menunjuk kita para pihak (yang bersengketa). Jadi, kalau tidak diminta kita tidak bekerja. Banyak hakim yang tidak mengerti. Bahkan ada kasus, hakim arbitrase dituntut. Ini jadi seperti main-main. Lalu rumahnya disita. Padahal Undang -undang menyebutkan hakim arbitrase tidak boleh dituntut, kecuali tersangkut perkara pidana, menyeleweng.
{Apakah investor asing merasa suka dengan arbitrase?}
Saya kedatangan American Chamber of Commerce (semacam KADIN di AS, red). Mereka meminta menyangkut perkara kepailitan yang menyangkut investor asing, masuk ke BANI. Umumnya, pihak investor asing meminta dalam perjanjiannya ada klausul penyelesaian sengketa. Nah, sekarang ini ada juga kocenderungan, seperti Prof Remi Syahdeni, yang berpendapat perkara kepailitan masuk saja ke BANI.
{Di masa datang para investor tidak mau sengketa lagi di pengadilan?}
Tidak mau. Jepang itu sampai punya gedung arbitrase sendiri. Singapura itu berkantor di gedung Mahkamah Agung. Di London, berkantor di lingkungan komplek peradilan. Begitu terhormatnya lembaga arbitrase ini.
{Kalau di Indonesia?}
Kepala BPPN (Syafruddin A. Temenggung, red) datang ke gedung arbitrase. Dia bicara di forum, termasuk. dihadapan ketua MA. Dia prihatin dengan gedung BANI dan ingin menawarkan gedung supaya bisa dipakai. Kita tolak. Pernah pula ada pengusaha yang menawarkan satu lantai lengkap dengan fasilitas komputer untuk kita pakai. Ya, kita tolak juga. Kita harus independen. (Pilarbisnis)
© Copyright 2024, All Rights Reserved