Dikala dua orang berseteru, apa kata si ahli pemikir?Filosofer yang juga disebut sebagai orang yang mencintai kebijakan {(The Man of Wisdom)} mengatakan: Apabila ada 2 orang berkelahi atau berseteru, kata-kata bijak untuk menilai mereka (bukan untuk memvonis) adalah: dua-duanya benar dan dua-duanya salah. Itulah kata mereka agar dalam situasi demikian masing-masing mau mengoreksi diri.
Ketika John Locke, Bapak Pelopor {Separation of Power} (Pemisahan antara Judikatif, Eksekutif dan Legislatif) mengajarkan teori [On Liberty], John Stuart Milis memberikan kritikannya sebagai berikut: Apa bila ajaran kebebasan John Locke diterapkan tanpa batas, apakah dapat dibenarkan manakala seseorang yang berada di dalam ruangan pertunjukan yang dihadiri ribuan penonton yang dengan tenang menikmati pentas, tiba-tiba karena kebebasan yang dimilikinya, ia berteriak: Api………. Api ! Serentak penonton lainnya panik berdesakan keluar sehingga banyak korban yang luka-luka mati terinjak-iniak padahal api yang sebenarnya tidak pemah ada.
Itulah sebabnya Presiden Soekarno mempertanyakan apakah {Freedom to be free} harus diartikan secara absolut. Ketidak percayaan Presiden Soekarno akan kebebasan absolut menyebabkan beliau mendeklarasikan dan memproklamirkan Demokrasi Terpimpin.
Tentu kita masih ingat betapa Arswendo si wartawan sempat bercokol di rumah tahanan untuk beberapa waktu hanya karena mengumpulkan {poll} pendapat rnengenai rangking seseorang.
Di era reformasi patut diakui bahwa pers kita amat sangat bebas, bahkan melebihi kebebasan pers di negara liberal. Pers di negara liberal --sering dimajukan ke Pengadilan Perdata atau dilaporkan ke Polisi tanpa menunggu hak jawab.
Laporan ke Polisi atau menggugat Perdata adalah juga hak dari orang yang dirugikan dan merupakan hak asasi mereka. Kita masih bisa menyaksikan betapa misalnya, Harian Kompas secara kurang lebih 6 bulan berturut-turut memvonis Golkar dalam Kasus Bank Bali.
Betapa Kompas memberikan paparan atas aliran dana yang dibuat oleh {Price Water House} yang dibayar milyaran oleh BPPN Buktinya semua bukti-bukti yang dibeberkan Kompas tidak dipakai di Pengadilan. Bahkan Nota Dinas Kepala BPPN yang ditanda-tangani Glenn Yusuf luput dari pemberitaan.
Secara obyektif mustinya Glenn Yusuf yang menjadi Tersangka Utama. Bukan Syahril Sabirin atau Pande Lubis. Setelah Putusan Bank Bali atas Terdakwa Joko Tjandra diputus bebas dan mempunyai kekuatan yang pasti dimana baik Joko Tjandra maupun Golkar dinyatakan tidak bersalah, apakah Kompas secara 6 bulan berturut-turut memberitakan Bebasnya Joko Tjandra dan ketidak terlibatan Golkar dalam kasus itu.
Masih banyak korban-korban pemberitaan pers di era reformasi yang merugikan bukan saja pengusaha, pejabat tetapi juga pengacara bagi suatu berita yang tidak berimbang.
[Berimbang dan Perlindungan]
Terkadang dalam berita yang katanya berimbang, subyek hukum yang menjadi target pemberitean bahkan divonis sebagai [pemulung, perampok atau koruptor.] Singkatnya si wartawan menuiis berita tersebut sebagaimana layaknya seorang Hakim di Pengadilan menghukum Terdakwa.
Apakah ini masih termasuk kategori Kebabasan Pers Indonesia sehingga pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai penghinaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 310, 311, 315 KUHP tidak mungkin menjerat si wartawan hanya berlindung dan dilindungi oleh saksi sebagai sumber berita?. Apa lagi saksi tersebut harus dilindungi.
Bagaimana kalau saksi itu yang dirahasiakan memberikan keterangan palsu? Atau saksi tersebut hanya bertemu sepintas dengan wartawan di Jalanan?. Apakah saksi yang demikian tak mungkin terjamah oleh Penyidik hanya karena berlakunya azas perlindungan saksi bagi si pembuat berita?
Daiam kasus Tempo versus Tomy Winata tampaknya telah direkayasa pemberitaan yang tidak berimbang, sehingga tulisan yang mengatakan Tomy Winata sebagai Pemulung (tanpa adanya bukti) dilupakan oleh para pembaca.
Yang ditonjolkan justru tindakan sebagai akibat daripada pemberitaan tersebut. Bahkan sekalipun Tomy mengatakan bahwa dia tidak menggerakkan penyerangan Tempo, hasil pemberitaan seolah-olah bila dibaca, menyebabkan orang menghukum Tomy sebagai pelaku pengrusakan
Kalau memang demikian kenyataannya alangkah mudahnya menghina seseorang. Apalagi sekarang semua orang bisa membuat koran atau majalah. Lantas melalui koran tersebut berdasarkan saksi yang mesti dilindungi dibuat benta atau {head line} yang bunyinya misalnya: Tempo adalah sarang komunis dan teroris. Toh benta demikian pasti tidak akan terjerat dengan pasal-pasal penghinaan karena bisa kebal dan dilindung dengan senjata hak jawab dan perlindungan saksi sebagai sumber.
Bayangkan kalau ayah wartawan Tempo setiap hari diberitakan sebagai Tukang Santet. Apa tidak mungkin rakyat lalu beramai-ramai merajam Sang Ayah tanpa sipembuat berita harus dihukum. karena toh dia berlindung di bawah perlindungan saksi?
Kalau memang itu kehendak pembuat Undang-undang, jangan heran kalau setiap hari Anggota DPR akan diberitakan di koran sebagai pencoleng uang negara, koruptor atau perampok. Toh yang bersangkutan tidak dapat melapor ke Polisi sebelum menggunakan hak jawabnya.
Kalau demikian sebaiknya Pasal-pasal penghinaan dI KUHP dibaca sebagai berikut: Barang siapa {(kecuali wartawan)} tidak akan dikenakan delik penghinaan………dan seterusnya……dan seterusnya, karena delik ini tidak berlaku untuk wartawan atau karena mereka adalah warga negara yang sangat diistimewakan.
Jika memang ini yang dikehendaki kita akan kembali ke ajaran Hobbes dimana derajat manusia akan disamakan dengan serigala. Berlaku azas { Homo Homini Lupus}. Serigala yang kuat akan memakan serigala yang lemah. Indonesia menjadi anarkis.
© Copyright 2024, All Rights Reserved