Tak bisa dipungkiri, dengan berbagai kelemahannya, kebebasan pers menjadi satu-satunya buah reformasi yang bisa dinikmati saat ini. Kata orang bijak, pers bebas menjadi prasyarat tumbuhnya masyarakat yang cerdas. Dengan demikian, tugas untuk terus mempertahankan dan mengembangkan kualitas kebebasan pers menjadi tanggungjawab insan pers dan semua pihak yang terlibat. Aksi pembredelan, pengekangan dan kekerasan terhadap insan pers sedapat mungkin dihindari.
Sejalan dengan itu, usulan DPR untuk melakukan revisi UU No. 40/1999 tentang Pers perlu ditolak atau paling tidak ditunda untuk memberi kesempatan pers untuk memperbaiki diri. Jika dibiarkan, maka akan ada pengekangan dan hambatan terhadap kalangan wartawan dalam menjalankan pekerjaannya.
Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia Bachtiar Aly menyarankan, revisi UU No.40/1999 tentang Pers perlu ditunda agar ada kesempatan bagi pers untuk memperbaiki diri. “Jika revisi tersebut tetap dilakukan oleh DPR, maka akan ada pengekangan terhadap wartawan dalam menjalankan pekerjaannya,” ujar Aly dalam Diskusi Menghapus Tindak Kekerasan Terhadap Wartawan, yang diselenggarakan oleh PWI Reformasi, di Jakara, Selasa (26/03/2002).
Setelah ditelusuri, kata Aly, ternyata usulan revisi itu timbul karena anggota DPR panas dikritik oleh pers. Hal ini terlihat ketika dalam acara rapat dengar pendapat Dewan Pers dengan anggota Komisi I DPR pada 21 Maret 200 yang berlangsung panas. “Anggota dewan menuduh kiprah pers telah kebablasan, sedang ketua Dewan Pers menyatakan istilah pers kebablasan itu tidak dikenal, yang ada pers bebas atau dikekang,” jelasnya.
Memang harus diakui, saat ini ada nuansa yang sangat kental bahwa pers dianggap pandai menuding elit politik yang dapat memancing pengikut elit tersebut untuk menyerang atau melakukan kekerasan terhadap wartawan. "Maka, kalau revisi itu tetap dilakukan sekarang, maka akan dilakukan pengekangan terhadap wartawan," tegas Aly.
Padahal, kebebasan dan transparansi pers sangat penting untuk mendorong proses demokratisasi. Kontrol terhadap perilaku elit politik dan berbagai dampak negatif kebijakan pemerintah hanya bisa dilakukan dalam iklim pers yang benar-benar bebas.
Disadari, sejauh ini, para elit politik dan penegak hukum masih relatif tidak menghormati profesi wartawan. Ini akibat dari rendahnya pemahaman terhadap profesi wartawan. Sehingga diperlukan sosialisasi mengenai profesi wartawan.
Kita perlu belajar menjadi bangsa yang beradab. Berbagai tindak kekerasan baik fisik maupun psikis yang dialami oleh wartawan perlu diakhiri. Sikap menggeneralisasi bahwa wartawan itu brengsek pun harus dibenahi. Kalau ada pihak atau masyarakat yang keberatan terhadap pemberitaan, ajukan saja ke pengadilan, tidak perlu melakukan tindak kekerasan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved