Aksi unjuk rasa dilakukan massa ke Majalah Tempo memang patut disesali. Aksi yang berbuntut kekerasan oleh para pengunjuk rasa terhadap awak redaksi Majalah Tempo wajar-wajar saja bila mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Banyak pihak terlihat cenderung mempersalahkan dan mengutuk aksi unjuk rasa tersebut. Termasuk dari Tomy Winata.
Sebuah anarkisme? Bisa jadi, karena melibatkan banyak orang secara fisik. Namun, apakah media massa juga tidak bisa melakukan sebuah anarkisme? Tentu sajabisa. Hanya saja dalam bentuk yang lain, yakni melalui kata-kata.
Ibarat pepatah mengatakan ‘Ada Api maka ada Asap’. Laporan Majalah Tempo berjudul: “Ada Tomy di “Tenabang” boleh dibilang sebagai penyulut aksi unjuk rasa oleh massa yang mengaku simpati dan tak rela Tomy Winata mendapat perlakuan anarkisme dari Majalah Tempo. Misalnya, soal stigma yang dilekatkan terhadap Tomy Winata sebagai ‘pemulung besar’ yang akan mengeruk untung dari kebakaran Pasar Tanah Abang. Bahkan, secara insinuatif, Tempo memberi kesan bahwa Tomy sebagai dalang kebakaran Pasar Tanah Abang.
Memang Tempo tidak eksplisit mengatakan demikian, namun interpretasi pembaca bisa saja demikian. Apalagi seperti ditulis Tempo bahwa tiga bulan sebelum peristiwa kebakaran Tomy Winata sudah mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp 53 miliar.
Lebih jauh, implikasi berita yang ditimbulkan terhadap persepsi pembaca memang bisa demikian. Apalagi deskripsi majalah Tempo yang cenderung tendensius dalam pemberitaan tersebut. Dengan hanya bersandar pada narasumber utama yakni Walikota Jakarta Pusat dan Direktur Utama PD Pasar Jaya---yang dalam kenyataannya tidak pernah mengatakan atau menyebut Tomy Winata ada kaitannya dengan kebakaran ataupun renovasi Pasar Tanah Abang.
Kekuatan Tempo hanya disandarkan pada sebuah sumber yang dilindungi, seperti yang memang dilindungi juga oleh Undang-Undang. Serta sebuah sumber Tomy Winata, yang oleh Tomy sendiri dibantah bahwa dia tidak pernah melakukan wawancara dengan Tempo soal itu. Jadi ini sebuah sumber imajiner.
Kalau mau jujur, dengan berita yang seadanya, Tempo memang menggiring pembentukan opini publik yang menyudutkan Tomy. Bisa dibayangkan jika para pedagang Pasar Tanah Abang terprovokasi oleh pemberitaan yang tendensius seperti itu.
Mari kita lihat apa implikasi berita tersebut? Pertama, secara sosial, nama Tomy Winata tercemar. Apalagi dengan menyandang stigma pemulung besar dan mencari untung diatas penderitaan orang lain. Dalam pemberitaan itu Tomy diberikan kesan membakar Pasar Tanah Abang. Sehingga, masih secara sosial, Tomy Winata bisa menjadi sasaran kemarahan warga Pasar Tanah Abang. Tempo sudah memberi posisi yang berhadap-hadapan antara Tomy dan pedagang Pasar Tanah Abang.
Secara personal, akibat pemberitaan itu, Tomy dan keluarga terancam jiwanya. Ditambah lagi, berbagai usaha dan jaringan bisnis Tomy terancam kelangsungannya. Dan hak asasi Tomy dan grup Artha Graha dilanggar. Akibat lanjutannya, karyawan Artha Graha terancam nafkah hidupnya.
Mungkin implikasi berita ini tak disadari oleh redaksi Tempo ketika memutuskan untuk menulisnya. Tapi ternyata keresahan akibat ancaman yang muncul akibat pemberitaan Tempo itu secara langsung dirasakan Grup Artha Graha. Sebagaimana dituturkan Tomy Winata dan karyawan yang datang ke kantor Tempo itu. “ Berkali-kali saya diancam mau dibunuh dan {network} Artha Graha diancam mau dibakar dan dirusak oleh puluhan penelpon yang mengaku wakil pedagang Pasar Tanah Abang.
Ketika beberapa karyawan dan simpatisan Tomy melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Tempo, nampaknya semua pihak baru terbuka matanya, bahwa akibat pemberitaan itu, telah terjadi penistaan terhadap Tomy dan Artha Graha. Memang lebih banyak pihak yang mengecam aksi unjuk rasa itu, ketimbang memahami secara jernih substansi persoalannya.
Ya, mau bilang apa lagi. Nasi sudah jadi bubur. Opini publik tampaknya lebih dominan memberi sitgma anarkis, premanisme kepada aksi unjuk rasa yang sebetulnya juga merupakan hak masyarakat yang dilindungi UU. Nampaknya kita terlalu gampang memberikan cap buruk terhadap sebuah aksi unjuk rasa ketimbang memahami substansi masalah dan dampak pemberitaan yang ditulis sebuah media bernama: TEMPO.
Namun, perlu juga masyarakat mengingat, Tempo bukanlah pemegang monopoli tafsir kebenaran. Dan juga bukan satu-satunya pemegang monopoli tafsir demokrasi dan kebebasan pers. Manusia selalu tak pernah luput dari kesalahan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved