Mantan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Didampingi tim kuasa hukumnya, Laksamana tiba di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Selasa (27/3), sekitar pukul 11.00 WIB.
Laksamana dipanggil KPK untuk dimintai keterangannya dalam kasus dugaan korupsi penjualan dua kapal tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina. Laksamana mengaku membawa banyak dokumen untuk diserahkan kepada KPK.
"Kita diminta memberikan klarifikasi. Kami sih senang-senang saja, karena ini kesempatan untuk jelaskan apa adanya secara hukum. Jadi, tidak ada prasangka lagi, tidak ada fitnah-fitnah," katanya.
Terkait penjualan dua kapal tanker milik Pertamina ini, Laksamana baru pertama kali dimintai keterangan oleh KPK. Sedangkan di Kejaksaan Agung, untuk kasus yang sama, Laksamana telah dimintai keterangan dua kali.
Pendiri Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) itu mengaku tidak mengerti mengapa kasus dugaan korupsi penjualan VLCC diusut secara bersamaan oleh dua institusi yang berbeda. Namun, ia mengatakan, akan tetap mengikuti prosedur. "Saya juga tidak mengerti itu. Saya kan harus cari keadilan.” ujarnya.
KPK sendiri telah menyelidiki kasus dugaan korupsi penjualan dua unit tanker VLCC sejak tiga tahun yang lalu. Namun, KPK mendapatkan kesulitan dalam menghitung jumlah kerugian negara yang timbul akibat penjualan tersebut karena belum ditemukan harga tanker pembanding untuk dua unit tanker yang dijual itu.
Laksamana mengatakan, pemeriksaan terhadap dirinya oleh Kejagung baru pada tahap mengumpulkan data. "Di kejagung baru mengumpulkan data, kalau KPK kan sudah meriksa banyak orang," ujarnya.
KPK pada tahun 2004 telah meminta keterangan mantan Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, dan Ariffin Nawawi. Hingga kini, KPK telah memeriksa 26 orang yang terdiri atas 22 orang dari PT Pertamina dan empat orang luar Pertamina. Saat ini, KPK bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Korea guna memperoleh keterangan dari Hyundai Heavy Industry, Korea Selatan.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, KPK menemukan beberapa kejanggalan-kejanggalan dalam proses penjualan dua tanker VLCC tersebut. Dalam prosesnya, Direksi PT Pertamina telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran tertanggal 11 November 2003 bahwa pelepasan aset PT Pertamina harus seijin Menteri Keuangan.
Selain itu, Direksi PT Pertamina telah melakukan penunjukan langsung terhadap Goldman Sachs sebagai penasehat keuangan dan perencana penjualan dua unit kapal tanker VLCC tanpa proses tender atau pelelangan.
Direksi PT Pertamina, menurut KPK, telah mengabaikan konflik kepentingan antara Goldman Sachs, dan pembeli tanker, Frontline, karena Goldman Sachs ternyata memiliki saham di Frontline.
Anehnya lagi, penawaran dari Frontline itu juga dilakukan secara tertutup dan diterima oleh Pertamina tidak di hadapan notaris.
Kasus dua tanker VLCC Pertamina ini sendiri bermula pada November 2002. Saat itu, Pertamina yang dipimpin Baihaki Hakim, memesan dua unit VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea Selatan seharga 65 juta dolar AS per unit. Rencananya, kapal itu akan digunakan Pertamina untuk membawa minyak mentah, karena sebelumnya Pertamina selalu menyewa kapal. Dengan punya kapal sendiri, biaya transportasi akan jauh lebih murah.
Namun, dengan alasan kesulitan likuiditas, pada April 2004 PT Pertamina yang kala itu sudah berganti pimpinan di bawah Arifin Nawawi malah menjual kedua kapal yang baru saja diselesaikan pembuatannya itu seharga 184 juta dolar AS.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Maret 2005, memutuskan Pertamina telah melanggar sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam penjualan dua unit tanker VLCC tersebut.
KPPU memutuskan, harga penjualan tanker tersebut jauh lebih rendah dari harga pasar pada saat itu (Juli 2005) yaitu 102 juta dolar AS-110 juta dolar AS per unit atau 204 juta dolar AS-240 juta dolar AS untuk dua kapal. Akibatnya negara kehilangan dana sebesar 20 juta dolar AS-50 juta dolar AS atau sekitar Rp180 miliar hingga Rp504 miliar.
Keputusan KPPU tersebut, sempat dianulir Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika Pertamina mengajukan keberatan. Keberatan itu diterima oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyatakan tender pelepasan dua kapal itu telah sesuai ketentuan. Lantas, KPPU mengajukan kasasi ke MA.
Pada 29 November 2005, MA memenangkan KPPU dalam sengketa perdata kasus itu dengan Pertamina.
© Copyright 2024, All Rights Reserved