Kejaksaan Agung tetap pada putusannya. Yakni mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan praperadilan yang menyatakan SKPP kasus Bibit-Chandra tidak sah. Ada celah yang bisa dimanfaatkan yakni unsur kekhilafan dan kekeliruan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam pengambilan keputusan.
Hal itu dikemukakan Jaksa Agung, Hendarman Supandji dalam konferensi pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (10/06).
Hendarman bahkan optimis, PK merupakan langkah tepat, cepat dan yakin menang. Namun Hendarman menolak membeberkan unsur kekhilafan atau kekeliruan majelis hakim sebagai dasar bagi alasan pengajuan PK tersebut.
"Saya sudah melihat pertimbangan majelis hakim di keputusan banding dan melihat adanya kekhilafan, kekeliruan yang nyata. Tetapi tidak bisa saya elaborasi di sini. Itu isi dapur Kejaksaan Agung yang tidak untuk disampaikan," ujar Hendarman.
Hendarman mengakui Kejaksaan tidak punya bukti baru (novum) atas kasus tersebut. Sebelumnya Ia menjelaskan ada 3 hal yang dapat jadi alasan bagi pengajuan PK. Yakni apabila ada bukti baru (novum), ada keputusan yang saling bertentangan atau hakim keliru/khilaf dalam pengambilan keputusan.
Tidak Lakukan Deponering
Ada empat alasan mengapa pihaknya tidak melakukan deponering (mengesampingkan perkara demi kepentingan umum) sebagaimana disarankan banyak pihak. Pertama, sejak awal Kejaksaan sudah mengambil sikap untuk menghentikan perkara dengan opsi SKPP. Jika sekarang kejaksaan berubah sikap maka kejaksaan akan dinilai ambivalen.
Kedua, opsi SKPP atau deponering adalah dua opsi yang berbeda untuk menghentikan penuntutan.
Ketiga, karena kasus yang terkait dengan perkara itu, yakni kasus Anggodo Widjojo, sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor. Menurutnya jika perkara Bibit-Chandra dideponering sedangkan perkara Anggodo yang berkaitan dengan Bibit-Chandra tidak deponering, hal ini bertentangan dengan asas equality before the law.
Keempat, untuk mengeluarkan deponering, pihaknya harus terlebih dahulu memperhatikan saran badan kekuasaan negara yang berkaitan dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Hendarman mengakui, badan legislatif telah memberikan saran dalam rapat Komisi III DPR dengan kejaksaan. Kejaksaan disarankan agar menangani perkara Bibit-Chandra secara profesional dan sesuai dengan hukum pembuktian.
"Saran ini belum dapat dipastikan sependapat dengan deponering," ujarnya.
Sedangkan badan yudikatif, lanjut Hendarman, sudah jelas menyatakan pendapatnya dalam putusan PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta yang memutuskan SKPP perkara Bibit-Chandra tidak sah dan mewajibkan Kejaksaan untuk melanjutkan penuntutan perkara tersebut.
Presiden sendiri tegas Hendarman, telah mempersilakan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung untuk tetap mempertahankan SKPP yang dikeluarkan dalam perkara Bibit-Chandra.
Juga ditegaskan, dalam mempertahankan SKPP perkara Bibit-Chandra tersebut, pihaknya tidak mengambil opsi kasasi karena menurut pasal 283 KUHAP putusan praperadilan yang menetapkan SKPP tidak sah berhenti pada putusan Pengadilan Tinggi.
Selain itu, MA pun telah mengeluarkan surat edaran No 7 Tahun 2005 sesuai dengan pasal 45a UU No 5 Tahun 2004 tentang MA bahwa perkara yang tidak dapat diajukan kasasi antara lain putusan praperadilan.
Atas alasan-alasan tersebut Kejaksaan bersikukuh mengajukan PK. Dengan itu katanya, maka kejaksaan memutuskan untuk tidak membawa perkara Bibit dan Chandra ke pengadilan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved