Tampaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat bahan baru dalam dugaan korupsi kasus pengadaan {automatic fingerprints identificatioan system} (AFIS) di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham).
Kejaksaan Hamburg, Jerman, mengungkap aliran dana 30 ribu euro (sekitar Rp360 juta) dari Dermalog, perusahaan alat sidik jari otomatis yang berkantor pusat di Jerman, ke pejabat Departemen Hukum dan HAM RI. Dana itu diduga sebagai suap terkait dengan proyek pengadaan {automatic fingerprints identificatioan system} (AFIS).
Informasi terkini itu diungkapkan Majalah {De Stern} melalui artikel {Die Jakarta-Connection} terbitan April 2007. Menurut {De Sterm}, Kejaksaan Hamburg telah memeriksa Direktur Utama Dermalog Gunther Mull terkait dengan aliran uang dalam proyek pengadaan {automatic fingerprints identification system} (AFIS) di Direktorat Administrasi Hukum Umum Depkum dan HAM senilai 1,5 juta euro tersebut.
Menurut Von Hans dan Martin Tillack, penulis artikel tersebut, pemeriksaan terhadap Mull dilakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur Utama PT Sentral Filindo Eman Rachman.
Seperti diketahui, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester 2006, menyebutkan pada tahun anggaran 2004, Ditjen AHU mendapat alokasi anggaran biaya tambahan (ABT) sebesar Rp18,5 miliar untuk pengadaan AFIS seperti tercantum dalam revisi Daftar Isian Proyek (DIP) nomor 009/XIII/1/--/2004 tanggal 10 November 2004.
Dalam pelaksanaannya, Ditjen AHU mengadakan perikatan kerja dengan PT Sentral Filindo berdasarkan kontrak nomor C1-PR.09.02-48/2004 tanggal 2 Desember 2004 senilai Rp18,48 miliar. Jangka pelaksanaan selama 18 hari paling lambat 19 Desember 2004.
"Ikatan kerja sama dengan PT Sentral Filindo bukan berdasarkan pelelangan, melainkan dengan penunjukan langsung. Adapun harga kontrak ditetapkan berdasarkan negosiasi harga antara kedua belah pihak," tulis BPK.
Pengadaan alat untuk keperluan keimigrasian tersebut kemudian dilakukan melalui penunjukanlangsung kepada Sentral Filindo sehingga diduga melanggar Keppres 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kasus itu juga diduga merugikan negara Rp6 miliar akibat penggelembungan harga.
Saat ditemui secara terpisah, Kepala Humas KPK Johan Budi SP mengatakan penyidikan KPK atas kasus AFIS tersebut juga telah menemukan adanya aliran uang dari PT Sentral Filindo kepada pejabat di Depkum dan HAM sebesar Rp375 juta.
“Dalam kasus pemberian {kick back} kepada penyelenggara negara itu, KPK sudah mendapat pengakuan dari tersangka bahwa ada penerimaan uang sebesar Rp375 juta oleh pimpro,” kata Johan
Johan menambahkan, pada Maret 2007, tim KPK pun telah bertemu dengan badan reserse dan kriminal kepolisian Jerman Marz das Bundeskriminaliamt (BKA). Kepada BKA, KPK meminta konfirmasi atas beberapa hal, termasuk status dana 30 ribu euro itu.
“Banyak hal yang dibicarakan dan digali. Tidak bisa diungkapkan secara detail,” ujarnya.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Direktur Sentral Filindo Eman Rachman, pimpinan proyek Aji Affendi, dan Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkum dan HAM Zulkarnaen Yunus. KPK juga sudah memeriksa mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dalam kasus itu.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 dan/atau Pasal 12A UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya penjara maksimal 20 tahun.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Depkum dan Ham Djoko Sasongko menengaskan pihaknya tidak tahu menahu adanya aliran dana 30 ribu euro dari Dermalog tersebut.
“Saya tidak tahu (soal adanya aliran dana ke Depkum HAM),” katanya seusai menerima demonstran dari Forum Umat Islam di Kantor Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (23/4).
Alur cerita dan rangkaian proses proyek AFIS yang dibeberkan KPK, tentu saja alur formal yang didasarkan bukti-bukti otentik. Alur lobi dan langkah strategis untuk menentukan PT.Sentral Filindo sebagai pemenang, tentu tak memiliki bukti otentik. Hanya pengakuan para pemain formallah yang mampu mengungkap semua kongkalikong di balik proyek yang penuh dugaan korupsi ini.
Berdasarkan penelusuran {politikindonesia}, proyek ini didapat PT.Sentral Filindo, lebih karena kemampuan dan power yang dimiliki oleh broker-broker yang bergentayangan di Departemen Hukum dan HAM. Nama Fahmi sangat populer di Departemen yang kini dipimpin Menteri Hamid Awaludin.
“Siapa yang tidak kenal dia. {Wong} satpam aja sudah hapal {kog}, ujar sumber {politikindonesia}. Bahkan, masih menurut sumber itu, Fahmi juga diduga berperan sangat menentukan dalam proses proyek Paspor {Biometeric}. “Belakangan, dia pecah kongsi dengan si penguasa perusahaan pemenangnya,” imbuh sumber itu.
Belakangan, kasus pengadaan paspor yang sempat ditangani Panja Imigrasi Komisi III DPR RI melahirkan kesimpangsiuran antara ketua Panja dan para anggota Panja.
Soalnya kemudian, benarkah Zulkarnaen Yunus dalam menentukan pemenang proyek AFIS tidak bebas dari tekanan? Tentu hasil investigasi KPK nanti yang akan menentukan.
Siapa Fahmi? Menurut majalah {Tempo}, dia adalah adik kandung Muhammad Tonas, anggota DPR RI dari Partai Bulan Bintang. Fahmi sendiri sudah diperiksa KPK. Namun, menurut kakaknya, Tomas, adiknya tidak bersalah. “Ia tak mungkin melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan,” ujar Tonas. Pertanyaannya kemudian, memangnya Fahmi dituduh KPK mengenai apa?
© Copyright 2024, All Rights Reserved