Drama penahanan kapal bermuatan kayu curian mulai terbaca dengan surat rekomendasi untuk melepaskan kapal-kapal beserta muatannya. Ketiga kapal asing yang ditangkap di perairan Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tersebut sempat ditahan Mabes Polri di Teluk Jakarta, Jakarta, sejak awal November 2001. Kapal-kapal itu adalah MV Mandarin Sea (berbendera Singapura), MV Fonwa Star (Hongkong) dan MV Rong Cheng (Cina) dengan total muatan 25.300 meter kubik kayu bulat ilegal.
Rekomendasi Mabes Polri untuk melepaskan kapal-kapal tersebut dituangkan dalam surat Korps Reserse (Kakorserse) No. Pol: B/348/IV/2002 Korserse tanggal 15 April 2002. Surat itu menyatakan tidak cukup bukti atas tiga nahkoda kapal sebagai tersangka. Selain itu ketiga kapal sebagai barang bukti juga tidak memenuhi unsur "alat angkut" kayu ilegal. Kepala Korserse Mabes Polri Irjen Pol Engkesman R Hilep belum dapat dikonfirmasi sejak beberapa hari lalu, baik melalui kantor maupun telepon genggamnya.
Tiga kapal beserta kayu-kayu meranti tersebut ditangkap jajaran Departemen Kehutanan, Armada Laut Wilayah Barat TNI Angkatan Laut (AL) dan kepolisian di perairan Pangkalan Bun (sekitar 20 mil dari pelabuhan) ketika sedang {loading}. Agar penyelidikan tuntas maka kayu-kayu yang diduga milik Abdul Rasyid, anggota Fraksi Utusan Daerah (F-UD) MPR asal Kalteng, diserahkan Dephut ke Mabes Polri. Abdul Rasyid sendiri adalah pemilik Tanjung Lingga Group dengan beberapa anak perusahaan.
Sayangnya, Mabes Polri justru menahan tersangka "palsu" bernama Rahmat Hamka Nasution yang mengaku sebagai pemilik perusahaan PT Bintang Perkasa Utama. Perusahaan ini, menurut polisi, sebagai pemilik kayu-kayu curian tersebut. Sejumlah informasi menyebutkan Rahmat adalah orang dekat sekaligus dibayar Abdul Rasyid menjadi tersangka. Bahkan, sesuai dengan investigasi yang dilakukan Abi Kusno dari Tabloid Lintas Khatulistiwa telah membenarkan kepemilikan kayu tersebut adalah Abdul Rasyid. Bahkan, akibat data-data yang dibeberaknnya, Abi pun mendapat teror dan siksaan dari para mafia kayu curian tersebut.
Desakan dan manipulasi data dari para mafia tersebut menghendaki agar kapal-kapal tersebut sebaiknya disidik di kepolisian setempat. Itu berarti, peluang untuk lolos sangat besar mengingat beberapa kasus sudah terjadi akibat kolusi para mafia dengan pihak pemerintah daerah. Hal ini dilakukan karena Mabes Polri tidak berwewenang untuk menyidik karena {locus delicti} (lokasi penangkapan) pada saat {loading} adalah di pelabuhan Pangkalan Bun.
Namun, pihak Armabar TNI AL telah menegaskan bahwa kapal-kapal itu ditangkap sedang {loading} di perairan sejauh 20 mili dari pelabuhan.
Sementara itu kalangan LSM dari {Environment Investigation Agency (EIA)} dan Telapak Indonesia menyayangkan tindakan Mabes Polri yang jelas-jelas mengabaikan bukti-bukti pelanggaran hukum oleh tiga kapal tersebut.
"Ini keputusan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Bagaimana mungkin Korserse menyatakan tidak ada bukti sementara kapal dan kayu-kayu itu tertangkap tangan tanpa dokumen yang lengkap," tegas Hapsoro, Koordinator Kampanye Telapak Indonesia.
Untuk itu, EIA dan Telapak Indonesia mendesak Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk tim ivestigasi khusus atas pelepasan kapal-kapal tersebut. Hal itu penting untuk mengungkapkan pelanggaran hukum dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas maraknya pencurian kayu {illegal loging} beserta para mafia.
Secara terpisah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut, Suharyanto, ketika dikonfirmasi tidak banyak berkomentar. Dikatakan, Dephut telah menyerahkan barang-barang bukti tersebut kepada pihak yang memiliki kewenangan hukum yakni Mabes Polri untuk diselidiki.
Sekalipun, kapal-kapal tersebut masih berada di kawasan Teluk Jakarta namun surat tersebut telah menunjukkan bahwa para mafia sudah mulai menuai keberhasilan dengan manipulasi yang dilakukannya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved