Jaksa Agung HM Prasetyo mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan, Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ia menilai putusan itu memprihatinkan dari sisi mencari keseimbangan dalam upaya mewujudkan kebenaran dan keadilan.
Pendapat itu disampaikan Prasetyo menanggapi putusan MK yang mengabulkan permohonan istri terpidana korupsi kasus BLBI Djoko S Tjandra, Anna Boentaran. Djoko Tjandra sendiri hingga kini masih buron.
Jaksa Agung menyindir, sikap MK tersebut terkesan memberikan perlindungan berlebihan kepada pelaku tindak pidana dan kejahatan termasuk korupsi. Sementara melupakan adanya sisi lain pencari keadilan yaitu korban kejahatan.
“Nampaknya MK saat ini lebih dikuasai pemikiran memberikan perlindungan berlebihan kepada pelaku tindak pidana dan kejahatan termasuk korupsi. Sementara melupakan adanya sisi lain pencari keadilan yaitu korban kejahatan. Dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum, jaksa mewakili kepentingan korban, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara," ujar dia kepada pers, Senin (16/05).
Prasetyo menambahkan, dalam tindak pidana korupsi yang dirugikan bukan hanya keuangan negara tetapi di dalamnya juga rakyat karena tindak pidana korupsi sebenarnyalah telah merampas hak kehidupan ekonomi dan sosial dari rakyat.
Jaksa Agung menilai, bukan hanya kali ini MK membuat putusan yang kalau disimak menunjukkan keberpihakan yang justru menyulitkan bagi penegakkan hukum. Sebelumnya, MK telah memutuskan memperluas cakupan obyek gugatan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Dampaknya saat ini orang akan begitu mudah dan serta merta menuntut praperadilan ketika ditetapkan sebagai tersangka. Begitu pun ketika penegak hukum jaksa dan polisi melakukan penggeledahan dan penyitaan. “Sesuatu yang sangat menghambat dan mempersulit penyidikan,” ujar dia.
Ditambahkan Prasetyo, selama ini jaksa mengajukan PK memiliki dasar, celah dan peluang yang dibuka oleh MA melalui yurisprudensi putusan MA. Celah itu, dalam praktik penegakkan hukum di Indonesia, merupakan salah satu sumber hukum untuk mengatasi kekosongan hukum yang ada.
Kini, pintu itu ditutup rapat-rapat dan dirampas oleh MK yang pernah salah seorang pimpinannya menyatakan bahwa putusan itu dibuat adalah untuk melindungi kepentingan hukum tersangka, terdakwa dan terpidana.
“Mereka lupa bahwa apa yang diatur dalam KUHAP hampir seluruh pasal-pasalnya sudah merupakan perlindungan bagi kepentingan pelaku kejahatan dan sangat sedikit sekali perlindungan bagi korban kejahatan," ujar Prasetyo.
“Jadi dalam menanggapi putusan MK tersebut, sekali lagi kejaksaan selaku institusi yang tugas dan tanggung jawabnya mewakili kepentingan negara dan masyarakat hanya bisa menyampaikan keprihatinan dan penyesalan karena dengan demikian menjadi hilanglah kesempatan terakhir bagi mereka untuk dibela dan dilindungi hak-haknya," tandas Prasetyo.
Sekedar informasi, Djoko S Tjandra dihukum 2 tahun penjara dalam putusan Peninjauan Kembali yang diajukan jaksa. Namun hukuman itu tidak bisa dieksekusi Jaksa karena Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke Port Moresby, PNG, pada 10 Juni 2009, hanya 1 hari sebelum MA mengeluarkan putusan atas perkaranya. Hingga kini Djoko Tjandra diduga masih di negara tersebut.
Sementara istrinya tidak terima atas putusan PK itu dan mengajukan permohonan penafsiran hukum atas Pasal 263 ayat 1 KUHAP ke MK. Anna meminta pasal itu ditafsirkan bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dan, permohonan itu dikabulkan.
Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke Port Moresby, PNG, pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan atas perkaranya. Hingga kini dia diduga masih di negara tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved