{We give you money, you give us your land}. Itulah istilah yang diungkapkan oleh Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi tentang sikap Singapura terhadap pelaksanaan perjanjian ekstradisi dan penerapan kerjasama pertahanan ({Defence Cooperation Agreement}/DCA) dengan Indonesia.
Muladi berpendapat, pemerintah harus membatalkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura apabila ternyata perjanjian itu hanya digunakan sebagai alat tawar bagi pemerintah Singapura dalam pelaksanaan perjanjian pertahanan (DCA).
Muladi menilaii keseriusan Singapura dalam menjalankan perjanjian ekstradisi tidak sepenuh hati. "Setengah-setengah. Adanya perjanjian ekstradisi dan DCA (Defence Cooperation Agreement) secara bersamaan itu hanya jadi alat Singapura. Jika DCA yang ditawarkan Singapura tidak disetujui pemerintah Indonesia, maka mereka juga akan membatalkan perjanjian ekstradisi,” kata Muladi di Gedung Lemhanas Jakarta, Kamis (5/7).
Gubernur lemhanas ini melihat pertimbangan pemerintah ketika menyetujui DCA dengan Singapura dilakukan secara pragmatis. Padahal setiap perjanjian internasional seharusnya dilakukan dengan melihat jati diri dan harga diri bangsa.
"Perjanjian ekstradisi dan DCA belum jadi perjanjian internasional karena belum disetujui DPR. Kalau Singapura masih memaksakan menggunakan wilayah kita untuk frekuensi latihan yang tinggi dan merugikan masyarakat sekitar, lebih baik batalkan saja," tegas Muladi.
Ia mengimbau agar pemerintah tidak takut untuk membatalkan perjanjian ekstradisi dan DCA karena belum melanggar pakta Sun Ser Vanda. Yaitu larangan membatalkan sebuah perjanjian internasional secara sepihak.
Apalagi dengan perjanjian ekstradisi yang ada saat ini, ia tidak optimistis pemerintah bisa mengembalikan semua uang negara yang dilarikan oleh para koruptor ke Singapura. Apalagi menangkap koruptor yang menjadi buron dan melarikan diri ke Singapura.
"Selama belum diratifikasi dalam bentuk UU oleh DPR, masih belum perjanjian internasional," ungkap Muladi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved