Dengan berbagai kelemahannya, sejarah mencatat bahwa aksi-aksi protes mahasiswa dapat dilihat sebagai momentum gerakan moral untuk memulai perubahan sosial. Dalam konteks sosial politik, gerakan protes mahasiswa harus dipandang sebagai upaya untuk mendorong proses demokratisasi. Setidaknya, gerakan protes mahasiswa sebagai cermin bagi penguasa dalam mengukur relevansi berbagai kebijakannya.
Aksi-aksi protes mahasiswa kini sedang membara. Kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon dilakukan secara serentak oleh pemerintah tanpa sosialisasi yang memadai. Masyarakat terkejut. Para nelayan kesulitan mencari nafkah karena harga solar membubung tinggi. Para ibu rumah tangga terkena pula akibat kenaikan harga minyak tanah dan transportasi.
Dalam waktu relatif singkat, aksi-aksi protes mahasiswa merebak di berbagai kota. Gerakan itu pun didukung oleh masyarakat darii berbagai kalangan. Tak hanya buruh, pengusaha pun ikut demo. Tak hanya kalangan populis dan "kiri", tetapi kelompok yang berbasis agama dan "kanan" juga meramaikan aksi protes.
Realitas politik menunjukkan bahwa akhirnya pemerintah pun mengalah dan telah menunda kenaikan harga telepon. Bahkan pemerintah sudah pula merevisi kenaikan harga BBM dan listrik. Sebagian aspirasi aksi protes sudah diakomodasi pemerintah.
Setelah protes terakomodasi, mengapa aksi mahasiwa belum juga berakhir? Memang harus diakui, saat ini ada sebagian mahasiswa yang memiliki agenda politik yang lebih radikal. Karena, menurut penilaian mereka, yang salah bukan hanya kebijakan menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon. Pemerintahan dan pemimpin sekarang (Megawati Soekarnoputri) dinilai tidak peka lagi. Kepentingan orang banyak diabaikan, sehingga Megawati harus diturunkan.
Betulkah sikap demikian? Secara substansial mestinya gerakan protes mahasiswa diakhiri. Gerakan itu sudah berprestasi dan berhasil membuat pemerintah merevisi kebijakannya atas BBM, tarif dasar listrik dan telepon. Akibat gerakan mahasiswa, di masa datang pemerintah sekarang mungkin akan lebih sensitif untuk mengambil kebijakan yang tidak populer. Konsultasi publik, sosialisasi, perlu dilakukan lebih dulu sebelum kebijakan tak populer diambil.
Tampaknya, sebagian kelompok dalam gerakan mahasiswa saat ini tergoda untuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Padahal, secara politik, hampir mustahil presiden dapat diturunkan di tengah jalan hanya karena kebijakannya.
Secara moral, seandainya pun berhasil, gerakan mahasiswa justru menjadi cacat karena tidak menumbuhkan kultur demokrasi yang dibutuhkan untuk mentradisikan pergantian pimpinan hanya melalui pemilu. Terkecuali jika pemimpin yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum tingkat tinggi. Bagaimana dengan Megawati? Anda punya penilain sendiri!
© Copyright 2024, All Rights Reserved