Para ekonom sekarang sibuk melakukan revisi prediksi ekonominya. Mereka mulai dengan menghitung kembali –atau tepatnya menurunkan- pendapatan nasional dari sektor pariwasata. Tahun 2000 tercatat USD5,7 miliar didapat dari sektor parawisata. Jumlah wisatawan yang datang selama tahun 2000 sampai 2001 tidak banyak berubah (sekitar 400,000 tiap tahunnya), sehingga bisa diasumsikan bahwa angka tersebut tidak berubah untuk tahun 2002 dan 2003.
Bila jumlah wisatawan tidak berubah, maka seharusnya pendapatan sektor pariwisata tidak bergerak. Dengan asumsi nilai tukar sekitar Rp9.100,-, inflasi 1% (mengikuti pergerakan dollar) maka total pendapatan pariwisata sebelum bom adalah USD5,8 miliar atau IDR52 triliun di tahun 2002.
Kalau 30% turis datang dibulan November dan Desember, dan jumlah turis yang datang turun menjadi 50% di bulan-bulan tersebut, maka kita akan kehilangan USD870 juta atau IDR 8 triliun!
Kalau kita lihat anggaran belanja tahun 2002 yang berjumlah IDR 301 triliun dan melakukan estimasi berkurangnya pendapatan pajak dari penurunan jumlah wisatawan, maka jelas target APBN 2002 akan terganggu. Artinya, perubahan harus dilakukan untuk merivisi RAPBN 2003. Malah ada yang meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi riel Indonesia di tahun 2002 akan turun dari 3,5% menjadi 3,0% karena efek berantai {(multiplier effect)}.
Efek riel bom di Bali ini tidak bisa disepelekan oleh Presiden Megawati. Kalau dahulu sikap diam merupakan kebijakan meredam gejolak, maka adanya bom di Bali memerlukan ketegasan sikap Megawati.
Presiden Megawati dijepit dari dua jurusan. Pertama dari sisi politik, dan kedua, dari sisi ekonomi seperti yang digambarkan diatas.
Dari sisi politik, Presiden Megawati menghadapi buah sikalama. Semua mata menunggu apa yang akan ia lakukan, padahal dalam jangka waktu pendek tidak ada bukti konkrit untuk menggiring tersangka pelaku bom dalam waktu dekat.
Kalau Presiden Megawati mengikuti apa yang diminta Amerika Serikat untuk menangkap tokoh-tokoh yang dianggap aktor dibelakang pemboman di masa lalu, Megawati pasti akan mendapat tekanan dari lawan politiknya didalam negeri. Mereka akan menuduh Presiden Megawati sebagai boneka Amerika Serikat.
Sebaliknya, bila Presiden Megawati tidak melakukan apa-apa, dunia internasional, dimotori oleh Amerika Serikat dan Australia akan pasti melakukan kampanye politik luar negeri anti Indonesia. Dan efeknya bisa merembet ke IMF, CGI, dan lainnya.
Pilihan satu-satunya yang tersedia bagi Megawati adalah melakukan sesuatu tindakan politik yang tegas secara simbolis, dalam memerangi terorisme di Indonesia. Hal ini memang akan mengundang oposisi –khususnya Islam garis keras- tetapi kelihatannya Presiden Megawati tidak ada pilihan.
Kalkulasi politik menunjukkan bahwa kekuatan politik riel Islam garis keras tidak begitu dominan didalam politik formal, baik di MPR maupun DPR. Golkar dan PDIP merupakan kekuatan mayoritas, sedangkan fraksi Islam yang bertengger di MPR dan DPR lebih cenderung moderat. Untuk Islam moderat, adanya kejadian bom di Bali ini bisa menjadi titik awal dalam mengurangi pengaruh dan kekuatan politik Islam garis keras. Sehingga, seharusnya dukungan akan mudah di dapat dari Islam moderat bagi Presiden Megawati.
Selain itu, berdasarkan sidang MPR yang lalu, Presiden Megawati tidak lagi bisa di{impeach} oleh MPR berdasarkan kebijaksanaannya, kecuali bila ia melakukan tindakan kriminal.
Sehingga, sesungguhnya Presiden Megawati mempunyai semua kekuatan politik untuk melakukan tindakan yang keras dalam masalah bom di Bali ini. Buatnya, sekarang ini adalah waktu untuk menunjukkan kepemimpinannya, dan secara relatif situasi politik saat ini mempermudah melakukan kebijaksanaan yang tegas.{Pilarbisnis}
© Copyright 2024, All Rights Reserved