Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ingin agar BPJS Ketenagakerjaan mengelola jaminan sosial bagi aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri. Selama ini, aturan yang berlaku saling tumpang tindih. DJSN tengah melakukan sinkronisasi regulasi, agar ada kepastian jaminan sosial bagi pekerja penyelenggara negara itu.
Ketua DJSN, Sigit Priohutomo mengatakan,penyelenggaraan jaminan sosial bagi ASN, TNI, POLRI saat ini masih secara parsial. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Penyelenggaraan jaminan sosial harus dikelola BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Namun dalam implementasinya, program jaminan sosial untuk ASN diatur Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) yang dikelola oleh PT Taspen (Persero). Selain itu, implementasi untuk TNI/Polri diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang asuransi sosial Prajurit TNI yang dikelola PT Asabri (Persero)," katanya kepada politikindonesia.com, disela acara workshop yang digelar DJSN di Jakarta, Kamis (30/11).
Dijelaskan, agar semua regulasi pelaksanaan program jaminan sosial sinkron dengan UU SJSN, UU BPJS, UU ASN, DJSN mengusulkan pemerintah untuk menempuh dua opsi. Pertama, program JKN dan JKM bagi ASN, TNI/Polri dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal Ini akan berimplikasi pada pengalihan program yang dikelola PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan. Namun, PT Taspen dan PT Asabri tetap eksis sebagai BUMN, menyelenggarakan program yang bersifat on top (program yang tidak alihkan.
"Sedangkan opsi yang kedua, kami mengusulkan supaya pemerintah mengubah badan hukum PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) menjadi BPJS. Sehingga implikasinya adalah harus dilakukan revisi terhadap UU SJSN dan UU BPJS. Untuk itu, kami kembali akan mengumpulkan masukan dari berbagai pihak. Tapi, sebelum melakukan revisi terhadap UU tersebut kami akan uji publik terlebih dahulu. Setelah itu kami akan menyerahkan opsi yang sudah diputuskan untuk diusulkan ke presiden secepatnya," ungkapnya.
Menurutnya, BPJS Kesehatan telah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 yang hingga saat ini kepesertaannya sudah mencapai 182 juta jiwa. Jumlah tersebut sudah termasuk dengan pekerja yang bekerja pada penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, dari jangkauan kepersertaan sudah sesuai dengan prinsip penyelenggara SJSN yang mengharuskan seluruh penduduk Indonesia tanpa memandang profesi menjadi peserta jaminan sosial.
"Sejak Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menyelenggarakan program JKK, Jaminan Hari Tua (JHT) dan JKM sesuai dengan kententuan yang berlalu. Bahkan, dari sisi cakupan kepesertaan masih terbatas pada pekerja perusahaan dan peserta mandiri. Sehingga belum menanggani pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara. Padahal dalam Peraturan Presiden No. 109 tahun 2013 tentan Penahapan Pendaftaran Kepesertaan Program Jaminan Sosial bahwa penyelenggara negara wajib mendaftarkan pekerjaannya kepada BPJS Ketenagakerjaan," ulasnya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, menunjukan kalau penyelenggara program Jaminan Kesehatan bidang Ketenagakejaan masih tersegmentasi berdasarkan profesi. Untuk itu, profesi ASN dan TNI/Polri diselenggarakan oleh BUMN. Padahal UU SJSN sudah menetapkan program jaminan sosial diselenggarakan oleh BPJS yang dibentuk oleh UU.
"Seharusnya, saat ini dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," ucapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved