Nampaknya pemilihan presiden langsung yang bakal digelar dalam pemilihan umum mendatang, kalau tak ada halangan, akan bertambah dinamis dengan ide debat calon presiden. Bagaimana pengaruhnya jika debat calon presiden diluncurkan, utamanya terhadap sikap para pemilih?
Gurubesar Fisip Unair Surabaya Prof Soetandyo Wignyosubroto menengarai pelaksanaan debat calon presiden tidak bakal terlalu berpengaruh terhadap para pemilih. Sampai sekarang rakyat masih memilih sebatas figur seseorang untuk menjadi pemimpin ketimbang visi yang akan diperjuangkan calon pemimpin itu.
Penegasan itu dilontarkan Sutandyo di Surabaya, akhir pekan lalu. Menurut dia, kalau debat kandidat presiden benar-benar dilaksanakan, itu sekadar menjadi tontotan bagi masyarakat ketimbang menjadi wahana memasarkan ide.
Menurut pengamatan Sutandyo, sampai sekarang masih banyak orang yang berprinsip hidup mati ikut tokoh tertentu. Mereka bahkan cenderung menjadi militan, lepas dari visinya sepaham atau tidak. Karena itu, tandasnya, pelaksanaan debat kandidat antarcalon presiden hanya merupakan tontonan daripada wahana memasarkan ide.
"Kebijakan apa pun yang disampaikan calon tidak akan mempengaruhi pilihan konstituen. Pokoknya kalau sudah {pejah gesang nderek} (mati hidup) PDI atau PKB, apa pun yang terjadi, rakyat tetap pada pilihannya," tandasnya.
Gagasan debat kandidat presiden ini masih merupakan eksperimen yang meniru model Amerika Serikat. Di negara itu, debat calon presiden menjelang pemilihan sudah merupakan tradisi sejak era Presiden Nixon.
Menurut Sutandyo, dalam kasus Nixon, presiden ternyata dikalahkan kandidat Kennedy yang jauh lebih pintar berbicara. Tetapi anehnya, keahlian itu pula yang mengantarkannya meraih suara terbanyak karena dia dinilai memiliki strategi lebih cerdik.
Mantan anggota Komnas HAM ini menilai, debat calon presiden menjadi penting kalau masyarakat juga menganggap penting. Masyarakat di Indonesia, ujarnya, acapkali memilih orang dan bukan memilih visinya. Jadi, katanya, debat calon presiden masih merupakan eksperimen dengan meniru model AS yang konteks politiknya agak berbeda.
Kandidat partai-partai kecil, lanjutnya, yang tokohnya belum banyak dikenal masyarakat, apalagi visi dan idenya, lebih menyukai forum debat digelar. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang sudah lebih dahulu dikenal masyarakat, tidak terlalu tertarik.
Di Indonesia, soal kharisma masih dianggap penting. "Bukan karena kepandaian, tetapi lebih karena soal dia anak siapa."
© Copyright 2024, All Rights Reserved