Kisruh kepengurusan PPP dan Partai Golkar yang terjadi pada awal pemerintahan Jokowi ini sangat memprihatinkan. Sulit untuk melepaskan konteks kisruh kepengurusan dua partai politik tersebut dengan drama Pilpres tahun lalu yang diwarnai kontestasi yang begitu sengit.
Ada kesan yang kuat, 2 partai tersebut sengaja “diobok-obok” karena tidak lugas mendukung pemerintahan Jokowi. Kesan tersebut menguat karena Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly adalah kader PDIP, partai utama pendukung Jokowi.
Terlepas dari semua spekulasi tersebut, secara politik sangatlah wajar jika pemerintah melalui menterinya melakukan berbagai cara untuk mengamankan kekuasaannya.
Namun, satu hal yang perlu digaris-bawahi, kisruh kepengurusan 2 partai itu bisa terjadi bukan semata-mata karena Menteri Hukum dan HAM yang bersikap tidak netral, tetapi lebih karena buruknya pengaturan pengesahan kepengurusan partai politik dalam UU Partai Politik kita.
Dalam UU Partai politik kita yakni UU Nomor 2 Tahun 2008 yang diubah sebagian isinya dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 terdapat kerancuan soal pengaturan pengesahan kepengurusan partai politik, kerancuan inilah yang bisa disalahgunakan oleh penguasa untuk “bermain” dalam setiap konflik kepengurusan partai politik.
Secara detail kerancuan tersebut berupa inkonsistensi mengenai siapa sesungguhnya yang berwenang mengesahkan kepengurusan partai politik.
Pasal 15 dan 23 ayat (2) mengatur bahwa kewenangan pengesahan kepengurusan partai politik ada pada partai politik itu sendiri. Pasal 15 berbunyi kedaulatan partai politik ada pada anggota, hal ini dikuatkan dengan pasal 23 ayat 2 yang berbunyi kepengurusan partai politik cukup didaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM.
Sementara disisi lain Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 mengatur kewenangan pengesahan kepengurusan Partai Politik ada pada pemerintah. Pasal 23 ayat (3) secara garis besar berbunyi bahwa susunan kepengurusan partai politik ditetapkan dengan Keputusan Menkumham, lalu pasal 24 menyiratkan Menteri berwenang mengesahkan kepengurusan partai politik.
Pemberian wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk menyatakan sah atau tidaknya kepengurusan partai politik jelas bertentangan dengan pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Bagaimana mungkin orang bisa bebas berpartai atau berserikat kalau kewenangan pengesahan justru ada pada Menteri.
Ketentuan pasal 23 ayat (3) dan pasal 24 UU Parpol haruslah dicabut. Untuk itu saya sebagai warga negara Indonesia dan sekaligus sebagai anggota salah satu partai politik akan mengajukan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi agar kedua pasal tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kebetulan saya adalah advokat yang sedikit banyak mengerti mekanisme pengajuan Uji Materiil terhadap Undang-undang. Uji Materiil ini akan saya daftarkan ke Panitera Mahkamah Konstitusi pada Hari Senin 30 Maret 2015 yang akan datang.
Saya menganggap Uji Materiil UU Parpol ini sebagai jalan tengah yang akan menghasilkan win-win solution. Di satu sisi saya tidak ingin ada partai politik yang diobok-obok pemerintah hanya untuk mengamanakan kekuasaan, namun disisi lain saya juga tidak ingin ada Menteri yang dituduh sebagai “begal demokrasi” karena diduga telah melakukan intervensi terhadap parpol.
© Copyright 2024, All Rights Reserved