Presiden Megawati Soekarnoputri bisa bernasib sama seperti (mantan) Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilengserkan karena sering bersikap emosional, reaktif, dan mudah menyalahkan orang lain sehingga menimbulkan sikap antipati dari berbagai kalangan.
"Gus Dur itu sebenarnya punya kemampuan intelektual yang luar biasa. Tapi, karena orangnya emosional, gampang menyalahkan orang lain dan suka menganggap dirinya benar, akibatnya banyak orang yang jengkel. Termasuk, politisi di DPR/MPR yang kemudian melengserkannya," kata cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid atau yang lebih luas dikenal Cak Nur kepada wartawan di Jakarta, Selasa (04/02/03), usai acara selamatan peresmian kantor baru Gerakan Jalan Lurus di Jalan Proklamasi No 41 Jakarta Pusat.
Seperti diketahui, Gerakan Jalan Lurus adalah forum diskusi nonformal yang didirikan sejumlah tokoh seperti Jacob Oetama, Sulistomo, dan Faisal Basri pada Mei 2001, yang bermula dari keprihatinan mereka atas situasi bangsa dan negara yang terus menerus dilanda krisis.
Selain Cak Nur, dalam acara selamatan itu, tampil pula memberikan pidato sambutan antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, Ketua PBNU Salahuddin Wahid, ekonom Djisman Simanjuntak dan pendiri CSIS Harry Tjan Silalahi.
Tampak juga, sejumlah tokoh dan mantan menteri seperti Prof Dr Ayzumardi Azra, Ketua DPA Achmad Tirtosudiro, Siswono Yudhohusodo dan Soelasikin Moerpratomo.
Gus Dur sebenarnya bisa terus memimpin jadi presiden kalau sikapnya tidak terlalu reaktif. "Kalau saja di Sidang Umum Tahunan (MPR) Gus Dur mau menjelaskan kasus Bulog, tidak emosional, dan tidak membuka konflik, saya yakin Gus Dur sampai sekarang masih memimpin," ujar rektor Universitas Paramadina itu.
Namun, kata dia, karena Gus Dur terus reaktif dan membuka konflik dengan berbagai pihak termasuk politisi di DPR/MPR, maka kemudian muncul perasaan antipati yang semakin meluas dengan diikuti gerakan untuk mengganti Gus Dur sebagai presiden sesegera mungkin.
"Saya khawatir pengalaman Gus Dur seperti itu bisa terulang lagi dan menimpa Presiden Megawati. Kalau Megawati terus reaktif, emosional, selalu menyalahkan orang lain, simpati orang padanya bisa hilang. Sekarang saja, kita sudah dengar suara-suara antipati pada Megawati yang disuarakan dari kalangan masyarakat yang dulu malah sangat mendukungnya jadi presiden," kata Cak Nur.
Karena itu, Cak Nur menyarankan Megawati Soekarnoputri untuk mau mengubah sikapnya dengan melakukan intropeksi, mengoreksi diri dan bersikap rendah hati. Pemimpin yang baik, menurut dia, adalah mereka yang mau mendengar suara dari bawah (rakyat-red) meskipun disampaikan dengan keras dan cenderung vulgar.
"Tugas pers, mahasiswa dan kita semua memang harus bersuara sekeras-kerasnya untuk mengingatkan pemerintahan Presiden Megawati agar tidak melakukan kesalahan," tuturnya.
Namun, Cak Nur menyatakan tak setuju dengan pendapat bahwa pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz perlu segera diturunkan dan menggantinya dengan presidium. Cara ini, katanya, tidak mendidik prinsip demokrasi dalam kehidupan berpolitik. "Mereka itu harus kita pertahankan sampai masa jabatannya berakhir. Kalau mereka melakukan kesalahan, kita bisa mengkritik sekeras-kerasnya," tuturnya.
Sementara itu, Prof Dr Syafii Maarif juga menyatakan bangsa ini harus bersikap rendah diri dan tak mudah menyalahkan orang lain. Krisis moral yang dialami bangsa ini bisa terjadi karena setiap individu tidak melakukan koreksi diri melainkan malah mencari kesalahan orang lain dan melakukan pembenaran terhadap dirinya sendiri.
Syafii Maarif mengemukakan, sudah banyak tokoh dan kalangan yang mengusulkan solusi bagi bangsa ini. Namun, dia mengaku tidak yakin terhadap solusi itu karena belum ada komitmen yang teguh dan benar dari pemimpin bangsa dan rakyatnya untuk sama-sama memiliki kesadaran menyelamatkan bangsa.
Sedangkan Salahuddin Wahid menyatakan bangsa ini bisa diselamatkan apabila ada rekonsiliasi dan saling memaafkan di antara komponen bangsa atas kesalahan yang terjadi di masa lalu dan memiliki komitmen untuk tidak saling melanggar hukum dan hak asasi manusia di masa depan.
"Tapi itupun dengan catatan, setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau tetap harus ditindak secara hukum. Persoalannya, siapkah kita untuk melakukan itu," katanya mempertanyakan.
Cak Nur menambahkan, perlu ada moral yang sangat besar untuk mencari solusi penyelamatan bangsa. "Kita perlu moral yang besarnya sama seperti kita melakukan revolusi atau perang," katanya. Moral ini diperlukan sebagai pijakan untuk meluruskan jalan bangsa ini. "Dan ini mungkin perlu korban besar," ujarnya. Dalam pengertian Cak Nur, beranikah bangsa ini mengorbankan segelintir elite politik dengan menghukum mereka kalau melakukan kesalahan pidana.
© Copyright 2024, All Rights Reserved